Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2016

Amatir

Gambar
Matahari tengah berada di titik kulminasi. Seorang gadis sibuk mengetik dan menuliskan suasana hatinya Cucian belum kering juga Kamar tanpa jendela, kedap dari terik yang menggila Gadis itu menghapus kalimatnya Entah apa yang ada dipikirannya Ia hanya ingin menulis katanya Cucian masih belum kering juga Teringatlah pada masa depannya yang tak tahu dibawa kemana Gadis itu mengetik lagi susunan huruf baru Cucian masih belum kering juga Adzan dhuhur masih belum berkumandang Lagi-lagi ia menghapus kalimatnya Ditanya oleh jiwa Apa yang mau kamu bagi pada umat manusia? Dia hanya diam tak bicara Oh, rupanya dia hanya ingin menulis katanya Teringat pada pemuda usia dua puluh empat Ia melanjutkan kalimatnya Jari-jarinya lincah memilih kata Matanya cepat bergerak-gerak Tapi lagi-lagi ia terdiam Khawatir terbaca  Ia hapus tulisannya Cucian masih belum kering juga Teringat pada beban tak terselasaikan Kalimat sendu meluncur dari jarinya B

Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai

Gambar
Judul Buku : Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai Penulis: Emha Ainun Nadjib Tanggal terbit: Maret 2015 Penerbit: Bentang Tebal: 414 halaman Emha lagi-lagi menantang nalar kita dengan kalimat-kalimat filosofisnya. Kali ini penulis ingin meresensi salah satu buku dari penerbit favorit penulis, Bentang, karya Emha Einun Nadjib atau EAN. Dalam deretan kata sepanjangan 414 halaman ini, Emha menuangkan gagasannya dalam bentuk esai singkat. Inilah yang membuat pembaca dapat betah menggerak-gerakan retinanya pada setiap kata Emha karena ia tidak terlalu panjang 'bicara' pada setiap sub babnya seolah ia tahu bahwa kemampuan fokus pembacanya tidak akan bertahan lama.  Selayaknya budayawan juga sastrawan, gagasan Emha pada bukunya yang ini banyak membahas konsep Islam secara filosofis disandingkan dengan praktik yang ada di masyarakat. Puncaknya adalah pembahasan tentang seni dalam Islam, khususnya musik. Emha juga banyak membahas pesantren dan relevansinya dengan pendidikan

Manusia?

Manusia datang dan pergi. Kepentingan membuat mereka asik sendiri. Dalam hiruk pikuk rutinitas yang jumud, kita telah lupa kemana perginya makna. Ritualisme kita tidak lagi bermakna, malah dianggap beban dari rantai aktifitas kita. Hubungan sesama mnusia hanya pada basa basi etika karena dibelakang, kita siap begosip ria. Terlebih materi dan prestise telah membuat kita lupa kalau kita hanya manusia. Merek, gadget, jabatan, pekerjaan, ukuran rumah, hanya status belaka. Tapi kenapa kita menjadikan mereka sebagai tolak ukur kemanusiaan? Apakah yg tidak punya tidak dianggap sebagai manusia? KIta saling bersaing memerkan siapa yang paling prestise diantara kita. Kita sibuk mencibir mereka yang tidak satu selera. Kita, telah tenggelam dalam hidup yang sementara.  Makhluk spesies manusia ini telah lama kehilangan kemanusiaannya. Kita teralienasi dari hakikat kita sendiri.  Masih pantaskah kita menyebut diri manusia?