Dunia




Bumi ini hanya satu, tetapi di atasnya ada banyak dunia.
Manusia-manusia membuat banyak dunia di atas bumi yang sama.

Hanya hewan dan tanaman yang selalu sama. dari generasi ke generasi mereka tumbuh sebagaimana hakikatnya, tak seperti manusia.

Dunia penuh teknologi, gadget, radiasi, akselerasi adalah hidup sehari-hari. Semua bergerak cepat dan materi jadi orientasi. Bagaimana penampilanmu adalah hal utama dan sampaikanlah semua aktifitasmu pada dunia, kira kira kurang lebih begitu pepatahnya.

Media sosial menjadi ajang pamer kehidupan, sebagian selalu menampilkan wajah dengan beberapa kali editan dan pencahayaan, sebagian menampilkan barang kepemilikan, sebagian menampilkan tempat tempat yang diinginkan semua orang, sebagian menampilkan makanan, kata kata mutiara, dan seribu satu jenis pamer lainnya.

Memang, seberapa penting hidup ini?

Di dunia itu, dunia kemajuan jaman dan serba pamer itu, disanalah aku hidup. Media sosial telah di tutup dan tersisa media percakapan privat. Entah mengapa, tetap tak nyaman melihat status tak penting bermunculan. Rasanya, yang muncul dari hati ini hanya pertanyaan dan pertanyaan. Apakah mereka bahagia? Apa manfaat dari menampilkan kecantikan wajah mereka? Maksudnya sering sering bikin status supaya apa? Kenapa orang begitu mudahnya bicara? Ah.

Tapi, di atas bumi yang dipenuhi tanaman dan hewan yang selalu sama itu, monyet selalu monyet, dan kucing selalu kucing. Tak kutemukan ikan bekerja keras untuk naik ke darat, atau kucing sedang belajar berenang.
Ada dunia lain selain dunia penuh hingar bingar itu. Di dunia ini, orang orang selalu menyebut nama tuhannya. Mereka meninggalkan pekerjaan dan hidup mereka, untuk berjuang katanya. Hari hari diisi ambisi yang bukan manusiawi, mencari berkah katanya. Jika bekerja untuk tuhan, biarlah tuhan yang menggaji mereka. Begitu pepatah mereka bicara. 

Di bumi yang sama, di tengah nilai moral yang liberal asal bahagia dapat dirasakan, dunia ketuhanan menjadi sangat minoritas dan berbanding terbalik dengan dunia hingar bingar. Mereka punya standar dan tujuan yang sama. Jika dunia hingar bingar menyukai sesama jenis dan memilih gender yang berbeda dengan jenis kelamin adalah hak asasi, di dunia ini, entah bagaimana, hal itu tidak pernah terjadi. 

Seorang laki-laki sangat feminim, lalu kemudian ia memutuskan pindah dunia, dan masuk ke dunia ini. Bagaimana kejadiannya, tak punya niat aku mengoreknya. Hanya, feminitasnya yang dahulu sangat dominan kini tak terlihat selain sebuah kejantanan. Apa yang dunia ini lakukan sampai dapat merubah gaya dan selera hidup seseorang? Aku juga tak dapat menjelaskannya.

Aku menjadi bagian dari dunia ini. Kerjaku hanya membaca ayat tuhan dan melakukan apa yang diperintahkan. Soal selera, jika itu adalah hal yang dilarang maka tak akan ku kerjakan. Tapi jika selera melanggar aturan, meski butuh waktu dan merasa sakit dengan aturan yang mengekang selera, pada akhirnya selera itu sirna seiring aku yang hanya taat pada aturan.

Dunia ini memiliki prinsip yang sederhana: patuhi aturan sisanya terserah. Hanya itu. Tugasku dan tugas orang-orang duniaku hanya mematuhi aturan. Mulai dari perbuatan sederhana hingga keputusan global. 

Dunia hingar bingar melihat duniaku sebagai dunia yang sangat konservatif dan tak menyenangkan. Dimana hak asasi jika selera harus sesuai aturan? Dimana seni jika semua orang menjadi sama karena aturan? Pertanyaan ini hanya dapat kau tahu jawabannya jika kau masuk dunia kami.

Ada pengalaman yang tak bisa dijelaskan. Ada kebahagiaan yang tak bisa digambarkan. Memang dunia ini nampak menyedihkan dari kacamata kalian, tapi kami pun tak akan melakukan pembelaan atau pembenaran. Di dunia kami, orang orang sibuk dan tak sempat melirik dunia lain. Kalian mencibir sementara kami bekerja. Bekerja dan bekerja, patuhi aturan sisanya terserah. 

Mau bagaimana pun justifikasi, dunia ini selalu ada karena hidup di dunia ini memiliki rasa yang berbeda. Nampak naif atau konservatif tak menyurutkan gaya hidup yang terlajur dinikmati. 

Pahala, surga, dosa, neraka, tuhan, ibadah, berkah dan kata kata metafisik lainnya sudah jadi tolak ukur moral kehidupan di dunia ini. Jika kita lihat dari sudut pandang intelektual, apakah logis seseorang menjadikan sesuatu yang belum tentu ada menjadi tolak ukur segala perbuatan dan keputusan? Tentu semua akan menggelengkan kepala.

Tapi kenyataan bahwa dunia ini masih ada dan berkembang biak di atas ketidak logisan mereka adalah fakta yang tak bisa diabaikan.

Adakalanya, logis bukan menjadi persoalan. Bukan mengesampingkan akal, hanya percaya pada kekuatan yang lebih besar.
Sebelum justifikasi, cobalah dulu memasuki dunia kami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuhentikan Hujan

Hati yang Hampa

Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai