Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai
Judul Buku :
Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai
Penulis: Emha Ainun
Nadjib
Tanggal terbit:
Maret 2015
Penerbit: Bentang
Tebal: 414 halaman
Emha lagi-lagi
menantang nalar kita dengan kalimat-kalimat filosofisnya. Kali ini penulis
ingin meresensi salah satu buku dari penerbit favorit penulis, Bentang, karya
Emha Einun Nadjib atau EAN. Dalam deretan kata sepanjangan 414 halaman ini,
Emha menuangkan gagasannya dalam bentuk esai singkat. Inilah yang membuat
pembaca dapat betah menggerak-gerakan retinanya pada setiap kata Emha karena ia
tidak terlalu panjang 'bicara' pada setiap sub babnya seolah ia tahu bahwa
kemampuan fokus pembacanya tidak akan bertahan lama.
Selayaknya
budayawan juga sastrawan, gagasan Emha pada bukunya yang ini banyak membahas
konsep Islam secara filosofis disandingkan dengan praktik yang ada di
masyarakat. Puncaknya adalah pembahasan tentang seni dalam Islam, khususnya
musik. Emha juga banyak membahas pesantren dan relevansinya dengan pendidikan
moderen yang kini banyak dipilih oleh masyarakat Ia
mengangkat pesantren dan membukakan pintunya hingga kita dapat melihat bahwa
pesantren juga tidak kalah unggul dengan jenis pendidikan konvensional yang
kini marak di tengah masyarakat.
Pada buku ini, dengan
bahasa filsafat khas Emha, ia mengajak kita melihat berbagai persoalan Islam
dalam kerangka zaman edan yang sedang kita hidupi ini, termasuk ihwal politik
yang pernah terjadi di Indonesia. Dengan sudut pandang yang berbeda dari Emha,
kita dapat tenggelam bersama penghayatan ala Emha sampai kenyang dengan
pengetahuan dan pemaknaan baru. Kemudian selain esai ia juga menyuguhkan
berbagai kisah antik untuk menyindir, menyadarkan, atau memberikan penerangan
tentang gagasan dibalik kisah tersebut. Beberapa diantaranya mengisahkan
beberapa pengalaman pribadi dan sepakat ketidaksepatannya terhadap beberapa
tokoh publik yang pernah bersinggungan dengannya.
Tapi, sembari
menikmati alunan aksara Emha, penulis tidak sepakat dengan beberapa gagasannya.
yap, membaca bukan hanya soal menikmati kata, hipotesa, atau alur cerita, tapi
membaca juga butuh logika. Membaca tidak hanya keasyikan penemuan makna dan
imaji, tapi juga harus disaring dengan ilmu. Memang sejak kapan buku memiliki
nilai kebenaran absolut? Hehe , bahkan kajian fiqih pun perlu dikaji lagi agar
dapat menjawab persoalan abad 21, bukankah begitu Profesor Qurthubi?
Kembali ke topik, bahasa yang digunakan Emha dalam sesaji esainya ini banyak menggunakan istilah filsafat dan istilah lainnya yang cukup berat. Bagi para penikmat filsafat dan sastra, untaian kata Emha adalah makanan lezat yang menantang nalar dan logika kita, tapi bagi para pecinta kesederhanaan, beberapa kalimat Emha mungkin akan sulit dicerna. Meskipun begitu, memang kelebihan Emha pada buku-buku lainnya selalu sama, yaitu sudut pandang nyeleneh tapi bener. Ini yang membuat buku ini memiliki daya tarik. Kita diberikan sudut baru dan disegarkan kembali dengan hal-hal kecil yang sering kita lakukan tapi ternyata itu penting dan tidak sepele.
Namun dalam
penjabarannya, Emha banyak menggunakan istilah jawa disela-sela istilah berat
lainnya, awalnya penulis cukup kerepotan ketika membaca karena sama sekali
tidak mengerti bahasa jawa. Tapi tenang, Emha mengerti bahwa pembacanya tidak
melulu orang Jawa, ia memberikan catatan kaki pada setiap istilah Jawa yang
diselip-selipkannya.
Jadi, begitulah
kiranya salah satu buku yang baru penulis khatamkan. Semoga resensi ini
bermanfaat dan... Selamat bertadarus kata! :)
Jatinangor, 27 Januari 2016
Cuaca: mendung berangin
Nida.
Komentar
Posting Komentar