Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2018

Tak Memiliki

Tak ada perasaan yang lebih menyakitkan daripada bertepuk sebelah tangan. Tak ada yang lebih melelahkan selain kepedulian yang hanya satu arah Tak ada yang lebih terasa sepi selain dilupakan dan dinomersekiankan Begitulah kiranya, jika kita berhubungan dengan manusia Salam tak selalu disambut salam Senyum tak selalu disambut senyum Sebagian menyambut, sebagian terlalu sibuk untuk sekedar meluangkan waktu Sebagian menanti nanti, sebagian hanya menganggap lalu dan pergi Sebagian menganggap prioritas, sebagian hanya menganggap waiting list tanpa arti Namanya juga berhubungan sama manusia Kecuali sama Allah, adalah tidak mungkin muncul perasaan bertepuk sebelah tangan Allah itu, so sweet banget ya... Akan selalu lebih mencintai kita daripada kita kepadaNya. Memang pada dasarnya, tak ada satupun yang kita miliki. Kita hanya harus mulai membiasakan diri Bahwa tak ada sesuatu yang kita miliki Sudahlah. Cukup berbuat baik saja dan ingatlah Kita, tak memiliki sesiapa atau

Kepada Allah

Saya bersinggungan dengan banyak lingkungan, mulai dari yang nakal banget, alim banget, gaul banget,  sampai yang pinter banget. Kali ini, ada sebuah lingkungan yang serinigkali mereka menjadikan agama sebagai bahan bercanda. Saya mengerti sudut pandang mereka, karena saya pun menuntut ilmu yang kurang lebih sama suasananya, sekuler. Saya tidak akan menghakimi apapun, adalah hak mereka untuk berpikir, berkata, dan bersikap apapun, asal jangan nyakitin orang aja. Hanya setitik pilu muncul di hati Saya, sungguh merasakan perasaan yang berbeda kepada Islam, terlebih, kepada Allah. Memang, cukup sentimentil, saya merasa cinta pertama saya adalah pada Allah. Sungguh. Mungkin orang orang akan tidak mengert dan saya pun tidak mampu menjelaskan perasaan ini. Saya bukan yang sangat taat dengan jidad hitam dan salat malam 11 rakaat, sungguh saya hanya melakukan ibadah biasa seperti muslim lainnya, tidak seperti nabi, atau mungkin syekh syekh yang tinggi ilmunya. Tapi, ketika ditany

Perempuan

aku menulis ini di atas kasur sebuah hotel di sebuah kota besar di Indonesia, Bandung. Atas nama acara kantor selama tiga hari di sebuah hotel, saya sebagai asisten peneliti harus berangkat lebih awal membantu admin menyiapkan acara. Sebenarnya ini bukan kali pertama saya mengurus masalah kantor atau jenjang karir lainnya, tapi, akhirnya pikiran ini memuncak juga,  saat saya menjadi seorang asisten peneliti dan memutuskan untuk menulis ini. sepanjang perjalanan, selain mengingat  masa lalu dan masa depan, hhe, ini yang banyak tersirat di benakku jadi gini rasanya jadi wanita karir. Yah, memang, harus saya akui bahwa ada sepercik rasa bangga dan istimewa atas kesibukan mengoptimalkan potensi, tapi lagi-lagi kuingat tentang tugas hakiki seorang perempuan, adalah menjadi seorang istri, ibu, menantu, anak, bagian dari masyarakat, dan bagian dari pembela kebenaran. jadi banyak yaa perannya, hhe. Saya terlahir dari rahim seorang perempuan yang mengorbankan dirinya untuk sebuah rumah

Kerja keras

Di dunia ini, ada orang yang sudah saling percaya dan mengenal dengan baik, lalu sepakat menjalankan sebuah kesepakatan. Ada juga yang tak dikenal, tak disangka, bertemu dan harus menjalani kesepakatan Dua dua nya sama tidak mudahnya Untuk yang pertama, mereka telah memiliki asumsi mereka dapat bekerja sama, kenyataannya, jika kita telah bersinggungan sehari hari dengan partner, belum tentu yang dibayangkan akan terwujud sepenuhnya. Mungkin dipenuhi kekecewaan karena ternyata romantisme kecocokan itu, tak seindah kenyataan Untuk yang kedua, jelas juga tidak mudah, jangankan memilih sikap, medannya aja belum tau, baru tahu mungkin setelah dua atau tiga bulan bekerja, lalu kita bisa saling menyesuaikan ritme.  Semacam trial and error, coba ini ga bisa, coba itu bisa oh mungkin gitu cara kita bekerja sama.. Dua duanya sama sama butuh kerja keras, kemauan merubah diri, keterbukaan, dan keyakinan bahwa kesepakatan ini, adalah sesuatu yang mulia dan harus dipertahankan. Oleh karen

Korban

Berikut adalah cerpen yang tidak jadi saya publish di buku, tapi, saya akan meaburnya disini, cukup panjang, semoga tidak melelahkan, selamat menikmati aksara :) Korban Alkisah dua orang anak muda yang menjadi tokoh utama dalam sebuah permainan. Ini permainan yang sangat jarang dilakukan. Kepala dusun telah bulat, pada upacara tahun ini permainan ini harus diselenggarakan. Siti dan Ujang dipilih, mereka bergidik, antara ngeri dan geli. Siti dan Ujang sebenarnya belum cukup siap untuk melakukan permainan ini. Tapi diantara sekian remaja lainnya, Siti dan Ujang adalah dua yang tiada duanya. Ilmu yang mereka punya, telah jauh melampui batas usianya. Soal umur dan kesiapan, kepala dusun tidak memperhatikannya. Permainan dilakukan tengah malam. Jika mereka berhasil, nama mereka harum ke seluruh penjuru, tapi jika mereka gagal, secara pribadi kepala dusun akan mencoret nama keduanya dan mereka tidak akan memiliki akses kemana-mana. Kepala dusun telah bersiap, aturan permainan t

Perempuan #3

Bunga bunga itu mudah terbawa angin Melambai ke kanan dan ke kiri Jika akar tak kuat menancap, tak jarang bunga tercerabut Diiinjak, tak berharga Layu Tak lagi wangi Mati Perempuan, jika keyakinan tak kuat, maka ia tercerabut dari keindahannya Tak berharga dan pesona, sebatas fisik yang hilang seiring dengan usia, kemudian mati. Tak ada yang bisa menguatkan akar selain bunga itu sendiri Kerja kerasnya untuk menyerap air dengan baik dan mencari cahaya matahari Membiarkan dedauanan berfotosintesis Memberi makanan kepada akar untuk tumbuh menancap ke dalam Kepada bunga-bunga Akar kita, adalah jiwa Cahaya matahari, adalah kebenaran dan Kerja keras menyerap air dan berofotosintesis, adalah penerimaan Terhantarnya makanan pada akar, adalah aplikasi pemahaman Bunga, tak cukup hanya cantik dan berwarna Akar yang lemah mengantarnya pada kematian pesona Mudah dicabut, dipindah pindahkan pot, atau diinjak begitu saja.

Prasangka

Salah seorang peneliti utama di tempat saya magang menuturkan cerita, katanya, prasangka telah menjadi masalah sosial yang harus dilirik dan diselesaikan. Saya mengangguk pelan sementara hati, mengagguk keras bak roker sedang bernyanyi di atas panggung, hha. Tidak perlu lah saya bahas orang lain, saya sendiri pun, aih, prasangka ini benar benar menyita waktu dan energi. Pada akhirnya, jika prasangka melanda, saya hanya bisa istigfar dan berdoa, berlindung dari segala kecemasan yang tak jelas darimana asalnya. Tapi, saya tidak akan curhat disini, mari kita bahas darimana prasangka ini bermula. sepanjang saya belajar soal emosi, jelas hasil penelitian dari buku Barret ey al (2016) menyatakan bahwa emosi, dapat membiaskan kognisi. Tah, jadi, ketika kita sedang meraakan sebuah emosi, proses berpikir kita otomatis akan menjadi bias. Sekecil apapun emosinya, nah, disitulah prasangka mulai menetas dan membunyikan cicitnya. Kita tak lagi objektif dan tanpa sadar, berpikir sesuai d