Hati yang Hampa

"Hati yang Hampa" adalah salah satu cerpen karya Mochtar Lubis yang tertuang dalam bukunya yang berjudul "Bromocorah"




“Tetapi aku tahu, aku tak sanggup menyampaikan padanya apa yang sebenarnya aku pikir. Aku tahu, dia akan bertambah sepi, hatinya akan bertambah hampa jika aku berkata benar padanya”

***
Namanya Padma, sesorang yang bertampang biasa, kalau tidak mau disebut jelek, tapi memiliki mata yang bercahaya. Mochtar Lubis mengisahkan seorang aktifis nasionalis yang memiliki daya pikir dan daya pikat yang kuat. Sementara ia, sang penulis sendiri berperan sebagai sahabatnya yang dulu pernah melakukan perjuangan yang sama.
 
Pada cerpen ini tokoh Padma mengambil sebuah keputusan hidup yang besar. Ia memutuskan untuk jatuh cinta pada lelaki yang mencintainya lebih dulu, ia menerima lamaran lelaki itu untuk hidup dan tinggal bersama. 

Sayangnya, Padma menikahi lelaki yang memiliki tuhan yang berbeda sehingga ia tidak mendapat restu dari kedua orangtuanya. Padma adalah wanita dengan mata bercahaya, ia memiliki keberanian dan pemikirannya sendiri. Padma sangat menyayangi orangtuanya tapi hatinya telah bulat, ia akan pindah ke Prancis dan menekuni cinta yang akan ia rajut. 

Walhasil, Padma pindah dan semua teman-temannya berpikir bahwa ia bahagia. Menikah dengan seorang bule kaya raya di negara maju dan hidup penuh cinta. Namun kenyataannya, beberapa bulan sejak mereka berumah tangga, suaminya yang bernama Jacques melakukan hubungan intim dengan wanita dan pria lain. Iya, suaminya seorang biseksual. 

Bagi Padma dan bagiku tentunya, ini adalah sebuah pengkhianatan. Perempuan mana yang hatinya tak luka? Tapi Jacques bersikukuh bahwa cintanya pada Padma tidak berkurang. Hubungan intim telah menjadi hal umum dan biasa di Prancis, dan sebagai warga negara Prancis Padma harus terbiasa dengan hal itu. 

Padma terdiam. Ia merasa sesak dan tak berdaya. Ia menyalahkan dirinya yang tak mampu menjadi seorang Prancis tulen, ia tetap merasa bahwa cintanya dikhianati dan bertahun-tahun ia harus bertahan dengan perasaan ini. Ketika usianya merangkak menuju lima puluh, ia menyerah. Ia mengajukan cerai dan memutuskan tinggal seorang diri di Prancis. Saat ditanya mengapa ia tak meninggalkan Jacques dan kembali ke Indonesia, Padma menjawab:

tak mungkin, dan kembali pada orang tuaku, dan mengakui bahwa mereka benar? Aku kan punya kebanggan diri, martabatku sendiri? Bukankah sikapku benar? Katakan, bagaimana pendapatmu?” 

Cahaya matanya tidak memudar. Padma tidak menangis juga tidak berkaca-kaca. Ia tetap ceria dengan senyumnya yang merekah dan  tingkahnya yang lincah. Hanya, matanya yang bercahaya kini nampak penuh luka dan terdengar kepiluan yang mendalam dari pita suaranya. Sebagai sahabat yang mengenal Padma dengan sangat akrab, Mochtar Lubis hanya ikut tersenyum dan bicara sendiri pada hatinya. 

Apa yang bisa kuakatakan padanya, bahwa menurut perasaanku ia telah berpegang pada kebanggan dan martabat dirinya keterlaluan menghadapi ayah dan ibunya,  bahwa kebanggan dirinya tidak pada tempatnya, dan telah membutakannya pada kemungkinan lain pada hidupnya, yang mungkin mengelakkan dia dari hidup berhati hampa demikian lamanya? Bahwa seandainya dulu, puluhan tahun yang lalu, dapat berendah hati dan berani melihat kegagalan perkwaninannya, maka pintu kebahagiaan hidup dapat dibukanya?”

Begitu Mochtar Lubis mengisahkan kisah Padma dalam salah potongan cerita pendeknya. 

***

Kau dapat menangkap pesannya? Iya, ini adalah soal bagaimana kebanyakan kita, spesies manusia, bersikap atas nama gengsi dan harga diri. 

Padma bersikukuh dengan gengsi dan harga dirnya sampai ia terpenjara dengan ketidakbahagiaan yang sebenarnya, bisa ia dapatkan secepatnya. Secepat ia bersikap jujur pada dirinya sendiri. 

Bukankah sosok Padma hari ini bertebaran diantara kita? Seringkali kita tidak jujur dengan diri sendiri karena gengsi dan harga diri. Kita berkahir denganmengurung diri sendiri.
Kalau kata om Ebiet G, Ade. dalam lagunya yang berjudul “Nyanyian Kasmaran”:
Bersikaplah jujur dan terbuka...

Bagi saya pribadi, yang penting jangan mengkhianati diri sendiri. Ketika saya mengatakan A ya saya mengerjakan A. Tapi kalau saya berubah pikiran dan ingin melakukan B, maka katakanlah bahwa saya menarik kata-kata saya dan menyesalinya. Beranilah. Beranilah melihat diri sendiri, maka kau akan berani malakukan banyak hal.

Kalau kata istri Mao Tse-Tung, Madame Jiang Ching, Apa arti hidup ini tanpa keberanian?

Bagaimanapun anggapan orang lain, yang jelas, jangan sampai mengkhianati diri kira sendiri. Katakan A kerjakan A, katakan B, kerjakan B. Sekarang bukan jamannya sedikit bicara banyak bekerja, apalagi sedikit bekerja banyak bicara.

Kita harus mengatakan kerja-kerja kita, dan mengerjakan kata-kata kita. 
Tanpa gengsi, tanpa atas nama harga diri. 
Atau
KIta akan jadi Padma yang berikutnya, menutup pintu kebahagian hanya karena mempertahankan gengsi pribadi.

Depok, 25 Desember 2016
Malam tenang
Dari jiwa yang penuh,
Nida. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuhentikan Hujan

Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai