Aku dan Takdir

 Tahukah kamu?

Takdir adalah satu kata yang sangat bermakna. 

Takdir adalah  semua kejadian dalam hidupmu. Setiap hembusan nafas, setiap kedipan mata, setiap senyum yang tak sengaja, setiap pingkal tawa, setiap air mata, dan setiap raungan batinmu yang bergemuruh. Panjanglah lagi jika harus kujelaskan bagaimana peran takdir dalam kehidupan kita.

Lalu, ada apa antara aku dengan takdir?

Aku, adalah manusia keras kepala, keras, dan sangat perasa. Aku dengan segala pengetahuan tentang diriku sendiri, seringkali merasa, kenapa takdirku begini dan begitu? 

Akulah yang selalu bertanya "kenapa" atas banyak hal yang terjadi.

Maka, jadilah batin dan pikiran ini sibuk dan lelah. Karena pertanyaan kenapa itu datang dengan jawaban yang entah kapan datangnya. Mungkin ia datang saat itu juga, mungkin juga setelah aku mati nanti, barulah aku mengerti kenapa hal hal itu terjadi

Artinya, bolehlah jadi seumur hidupku terus dihantui oleh pertanyaan kenapa.

Maka munculah lagi pertanyaan baru, kenapalah aku selalu bertanya kenapa? Kenapa aku begitu tergesa-gesa untuk mengetahui setiap hikmah dari hal pahit yang terjadi, kenapalah aku harus tahu dasar alasan terjadinya ini dan itu, kenapa aku selalu bertanya kenapa pada takdir yang telah ditentukan.

Mungkinkah ada cinta yang berkurang pada Tuhan Semesta Alam?

Pahit aku mengakui ini, tapi yah mungkin itu yang terjadi di dalam sini. 

Maka, barulah aku mengerti arti cinta wahai Tuhanku. Dulu, begitu mudah aku ucapkan bahwa aku mencintai Engkau. Tapi, saat Kau takdirkan sesuatu yang dirasa pahit bagiku, maka kupertanyakan cintaMu padaku seolah Kau harus mencintaiku dengan cara yang kumau. 

Barulah aku sadar

Aku sombong.

Aku belum mencintaiMu sepenuhnya. Aku belumlah mencintai semua takdir yang kau gariskan untuku. Padahal aku tahu betul teorinya, boleh jadi, apa yang kita tidak suka baik untuk kita. Betul, betul sekali.

Tapi, pelaksanaan teori itu tentulah tidak semudah makan mie instan yang enak dan dapat diterima oleh semua lidah. Luka batin atas apa yang terjadi dan rencana hidup yang telah kita rencanakan sedemikian rupa menjadi dinding penghalang paling besar menuju keikhlasan.

Betapa rendah diriku ini wahai Tuhanku. Betapa aku membenci diriku sendiri. Aku hanyalah manusia bodoh yang tak cukup berani menghadapi masalah. Aku seringkali memilih menolak kenyataan dengan bertanya kenapa dan berakhir membenci diri sendiri seolah, diri ini tak boleh salah. Maka jika aku berbuat salah, patutlah untuk dibenci, bahkan oleh jasad dan pikiranku sendiri.

Lalu, darimanakah aku harus memulai semua ini. 

Darimanakah aku harus kembali belajar mencintaiMu dengan penuh tanpa kata 'kenapa'.

Darimanakah aku harus menggapai cahaya itu?

Keimanan ini telah runtuh dan gagal dalam mengahadpi ujian hidup dariMu

Maka, darimanakah aku harus kembali membangun imanku?

Darimanakah?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuhentikan Hujan

Hati yang Hampa

Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai