...

Manusia sibuk menyangka nyangka, aku juga manusia. Lalu kubilang, berhenti.  Maka berhentilah segala kelebatan.  Kubuka laptop, kutinggalkan 2 malaikat kecilku yang pulas tertidur.  Mungkin aku masih fasik, karena kuputar musik agar sedikit berisik.  Setidaknya, pikiranku tidak berisik.  Mulailah aku asal menulis saja. Berharap ketenangan akan datang.  

Aku ditakuti beberapa orang, bisa baca pikiran, kata mereka.

Hatiku tertawa mendengarnya, ingin terbahak, tapi adab harus lebih dulu daripada ilmu.  

Manalah mungkin aku bisa membaca pikiran orang,  aku tidak sakti, hanya sedikit lebih peka tentang ekspresi. Lagipula,  aku punya banyak  hal yang harus dipikirkan, kenapa pula harus kupikirkan setiap raut, gestur, dan ekspresi wajah orang orang. 

Aih....

Terus lagi, dasar mulut orang, paling senang menambah-nambahkan cerita yang dianggap kurang,  jadilah aku tertumbal. Jadilah aku yang tidak  disenangi orang  karena suatu  hal yang tidak aku lakukan. Aih,  terus aku harus apa? Diam adalah sikap terbaik,  lagipula, aku tidak peduli. 

Selama kamu tidak  tabayun padaku, selama itu juga aku akan membiarkanmu dalam banyak sangkaan yang merugikanmu sendiri. Aku tidak peduli.

Kalaulah aku tidak disukai, yasudahlah.  Aku memang jahat,  karena aku akan berkata,  aku tidak  peduli, berkali-kali, di dalam hati. Kaki tetap melangkah, mata terus menatap, dan debu pasti kan hinggap. Anakku, menunggu dan membutuhkanku.

Musim hujan mulai datang, saat  tepat untuk menulis segala hal yang  menyedihkan.

Aku pernah salah. Orang lain pun pernah salah,  aku pada mereka, atau mereka padaku. 

Yasudahlah...

Aih....  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuhentikan Hujan

Hati yang Hampa

Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai