Antara Idealisme dan Realita


Ini sudah larut, bagiku. Hebatnya, saya masih bangun dan siaga pada jam segini. Padahal biasanya sudah dibawa ke alam mimpi.

Baru tadi saya kembali membuka akun  media sosial dan scroll singkat beberapa kali. Walhasil, terbacalah sebuah tulisan yang isinya marah-marah, kemana mahasiswa katanya.

Yah, saya ikut merasa dimarahi juga. Saya dulu juga aktifis, tapi sekarang sudah lulus dan bergabung dengan realita sampai sampai lupa, kalau ada yang harusa dibela. Hebat ya, baru juga lulus berapa bulan dan berhasil lupa dengan perjuangan empat tahun kebelakang.

Tuntutan hidup luar biasa tinggi. Saya begitu fokus untuk mengejar pencapaian dan berkecimpung dengan hobi. Sudah jarang saya membahas pedagang kaki lima atau sekedar kritik politik yang tiada guna. Obrolah seperti itu, sudah jauh sekali rasanya.

Malam ini jadi galau juga. Galau karena sadar bahwa saya sudah lupa idealisme dan termakan realita. Tapi mau bagaimana, hidup harus dihidupi dan kritik politk itu tak mampu mengenyangkang perut saya yang lapar. Aih...

Kalian yang masih mahasiswa, teruslah berjuang. Hidupkan kampus dengan kepedulian. Akademisi haruslah menjadi bagian dari masyarakat, bukan suatu kelas tersendiri. Sering-seringlah makan di warteg dan berbicaralah pada para pedagang. Mereka, biasanya lebih tahu arti kehidupan. Saya yang sudah lulus pun masih begitu, masih meneruskan kebiasaan itu, masa kalian yang mahasiswa tidak?

Kalau sudah lulus, orientasi kita jadi berbeda. Memang, hidup di kota tidak bisa sederhana.

Tapi, meski begini, saya tidak mau mengalah dan menyerah. Bersyukur juga sempat baca tulisan yang marah-marah itu, jadi tergugah dan mengisi malam dengan renungan. Saya harus mulai menemukan jalan tengahnya, bagaimana caranya, bisa menghidupi hidup tapi tetap memberi kontribusi, walau hanya seberat dzarrah, halah. Kan seberat dzarrah pun diperhitungkan, ya kan...

Jangan sampai, kita banyak mengeluh tapi tidak berbuat apa-apa... begitu kan ya para mahasiswa?
Coba, buat kami kami yang sudah dewasa ini mau ikut berpikir dan peduli. Kami khawatir, tidak bisa menjawab pertanyaan tuhan nanti.

Depok, 7 September 2016
22:37 WIB
Malam dingin berangin
Nida.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuhentikan Hujan

Hati yang Hampa

Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai