Review Buku: Tiga Pertapa
Tiga Pertapa
Leo Tolstoy
Beberapa hari yang lalu aku baru
saja mengkhatamkan sebuah buku kecil yang sangat manusiawi. Beberapa detik
setelah kalimat terakhir dalam buku ini, aku tersenyum dan menatap
langit-langit yang kosong. Seperti kosongnya cerpen yang baru kubaca, sarat
makna, hanya aku yang tak berhasil memecahkan teka-tekinya. Jadi, tersisalah
kepalaku yang kosong karena tak berhasil menemukan makna lugas di dalamnya.
Aih..
Ukurannya yang sedikit lebih
besar dari foto berukuran 4R dan ia hanya memiliki 93 halaman. Sebuah buku yang
bisa kau tamatkan dalam satu pukulan telak, iya kan?
Biasanya, banyak buku yang
menuliskan judulnya dengan huruf besar dan menarik sementara penulisnya hanya
dirulis kecil di bawah atau di sudut cover halaman. Tapi, tidak dengan buku
ini. Ukuran huruf nama penulisnya jauh lebih besar dari judul bukunya, dan
memang, nama penulis itu yang jadi daya tariknya. Yah, mungkin penerbit ingin
bukunya laris terjual karena memang nama penulisnya jauh lebih akrab di telinga
ketimbang judul bukunya.
Leo Tolstoy. Siapa yang tidak
mengenalnya? Sastrawan Rusia yang mengisi hidupnya dengan gelisah dan seribu
tanda tanya. Di buku ini dijelaskan sedikit tentang pengarang lengkap dengan
fotonya. Seorang pria berumur yang rambutnya pindah ke dagu, lebat, kriting,
dan putih, tapi tidak seputih salju. Wahai kakek, di buku ini ditulis bahwa kau
ahli spiritual, tapi kau bingung mencari jawaban tentang makna dan tujuan hidup
sampai maut datang menjemput, gelisah menyelimuti setiap nafasmu, aku turut
berdukacita atas setiap perasaanmu. Sayang, kita belum saling mengenal waktu
itu.
“Pada usia delapan puluh dua tahun, Tolstoy meninggalkan rumahnya tanpa
suatu tujuan yang jelas. Ia jatuh sakit tiga hari kemudian dan meninggal di
sebuah stasiun kereta api”
Akhir yang menyedihkan bukan? Kau
mati tahun 1910, tahun di mana Sjarikat Islam baru saja mendklarasikan dirinya
sebagai sebuah organisasi yang mandiri. Disini ramai sekali kakek, orang-orang
berteriak merdeka melawan penjajahan, dan kau, di belahan bumi sana, duduk
kesepian tenggelam dalam kegelisahan. Semoga kau berkenan memaklumi
ketidaksopananku yang tidak hadir menemanimu. Selain karena aku belum lahir
waktu itu, disini tidak ada kereta jurusan Rusia, paling mentok, tamat di
Cicalengka.
Sekalipun aku naik kereta jurusan
luar kota, yah, aku harus menipu para petugas itu lagi agar bisa naik kereta
gratis, tapi, kau tahu kan kakek, sepandai apapun aku menipu, aku tak akan
mampu menemanimu. Disini tidak ada kereta jurusan Rusia. Kuharap suatu saat
nanti ada, entah bagaimana caranya.
Kakek, bukumu bagus. Salut. Tiga cerpen yang sederhana tapi
entah bagaimana, aku jadi ikut gelisah dibuatnya. Membuatku lupa dengan
kegelisahan tenggat waktu bayar asrama. Hehe.
Pertama, tentang “Berapa Banyak
Tanah yang Diperlukan Orang?”, epik! Itu satu kata untukmu. Kau buat aku ikut
gelisah dengan Pahom yang sibuk mencari-cari tanah. Karena kesombongannya yang
menantang iblis dan ketidakpuasannya atas apa yang telah ia punya, ia berakhir
mati di atas tanahnya sendiri. Ia terjerat kontrak. Meskipun tanahnya luas dan
butuh waktu seharian untuk melangkahi semuanya, akhirnya ia tenggelam dalam
keringatnya sendiri. Tak mampu mengurus semuanya dan mati dalam tanah ukuran satu
kali dua. Iblis tertawa, bangga karena berhasil mengalahkan Pahom yang besar
mulutnya. Jadi, berapa banyak tanah yang diperlukan orang? Cukup satu kali dua,
dari ujung kepala sampai ujung kakinya saja.
Kedua, tentang “Tiga Pertapa”,
yah, aku kira mereka hanyalah tiga orang bodoh yang malas menjalani tantangan
hidup dan memilih duduk memuja tuhan di pulau yang tidak dikenal. Mungkin aku
cukup jahat karena mengatakan tiga orang suci itu sebagai orang bodoh, tapi
kakek, kau sendiri yang menceritakan bahwa tiga orang suci itu bahkan tidak
tahu caranya berdoa sampai seorang pendeta mengajarkannya. Bahkan butuh waktu
seharian untuk mengajarkan satu doa. Lalu, apa saja yang mereka lakukan sampai
janggutnya panjang menyentuh tanah? Bahkan ketika sang pendeta itu pergi, tiga
orang itu hanya mengucapkan doa yang diajarkannya dengan lantang. Mereka
manusia atau kaset doa yang sudah tua?
Ketiga, “Pengasingan yang
Panjang”, nah, ini cerita yang memilukan. Aku turut berduka atas apa yang
menimpa Aksionov. Ia dihukum untuk hal yang tidak ia lakukan sepanjang sisa
hidupnya. Kehilangan istri, anak, dan semua usaha perdagangan yang jaya. Rindu
keluarga, aih, Aksionov, aku tahu apa rasanya merindukan keluarga yang lama tak
bisa dijumpa. Akhir cerita, Aksionov menjadi mulia karena semua kepahitan yang
ia alami. Saking mulianya, ia injak emosinya dan menyelamatkan orang yang dulu
menjebaknya. Sebagai balasan, orang itu duduk berlutut menangis kepayahan
memohon maaf untuk Aksionov dan mengakui semuanya. MasyaAllah, terkadang,
haruskah kita tersiksa untuk sebuah hidayah besar bagi seseorang? Pengasingan
dan penderitaan Aksionov membangunkan kesadaran seorang kriminal.
“Tuhan akan memaafkanmu, mungkin aku seratus kali lebih buruk darimu!”
-Aksionov-
Tiba-tiba ia merasakan kedamaian dalam jiwanya. Ia tak lagi merindukan
rumahnya, tak ada lagi keinginannya untuk meninggalkan penjara, ia hanya ingin
menunggu saat terakhirnya tiba. Ketika Aksionov dibebaskan karena terbukti
tidak bersalah, ia terbaring rapi tak bernyawa.
Kakek, terima kasih karena
berhasil membuatku lupa dengan kegelisahan tenggat waktu bayar asrama. Katanya
kau buat dua novel fenomenal sedunia ya? Kucatat judulnya, dan dua buku itu
sudah masuk dalam daftar barang yang ingin kumiliki. Kakek, darimu aku belajar
bahwa karya tidak datang dari gejolak yang biasa. Karya lahir dari tekanan yang
meluap-luap, apakah itu gelisah, bingung, gulana, marah, atau tak sabar ingin
merdeka. Epik, satu kata untukmu. Kau tahu kan kakek, memuji itu tidak mudah :).
Depok, 7 September 2016
Pukul 13.52
Cuaca: Sejuk secukupnya
Nida.
Komentar
Posting Komentar