Anak Jalanan
Kulitnya coklat mengilap, langkahnya
tertutup suara bising jalanan. Aku duduk menatap jendela seperti biasa,
berjuang untuk tetap berdzikir sementara kilatan lamunan muncul sesekali. Ia
membuka suaranya, cempreng dan tidak enak di dengar. Kuperhatikan mereka dari
pantulan di kaca, telinganya diberi tindik yang besar, matanya kuning seperti
habis teler, bajunya belel, dan rambutnya kusam dibakar matahari. Aku bergidik
melihatnya. Sembari terus melihat jendela, suara
ukulele mulai terdengar dan syair mulai dinyanyikan.
Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Disana di gedung DPR
Wakil rakyat kumpulan orang-orang hebat
Bukan kumpulan kerabat
Apalagi sanak famili
Siapa sangka dibalik dekil dan
bau badan mereka, syair politik keluar dengan mudahnya. Jadilah aku yang tadi
memalingkan muka mulai memasang telinga. Aku menikmati setiap syair mereka. Rasanya ikut sakit juga hati ini melihat posisi mereka. Okelah mereka tidak
berusaha dan telah memilih jalanan sebagai hidup mereka, jalanan yang penuh
dengan mudharat dan maksiat. Tapi, kalau kita di posisi mereka, akankah kita
melakukan hal yang berbeda?
Kita tak pernah tahu posisi
mereka, bagaimana persoalan keluarga, bagaimana pergaulan mereka, bagaimana
mereka mengahadapi himpitan ekonomi, bagaimana mereka merasa kesepian dan terus
menerus dipandang sebelah mata. Aku tidak membenarkan sikap
mereka yang mabuk-mabukkan, bertindik, tato, dan tidak mandi. Jelas, mereka
salah. Tapi...
Pertama, aku menikmati syair
politik dan kehidupan mereka. Terserah apakah itu berasal dari anak punk yang ada
di cibiru, padalarang, jakarta, Purwakarta, atau dimanapun. Mungkin bagi kita mereka
tidak beradab, tapi setidaknya, lagu mereka mengungkapkan kebenaran, tentang
porak porandanya negeri ini, tentang kekecewaan mereka pada pemerintah, tentang
kebencian mereka pada ketidakadil-an hidup, tentang murka atas rasa sakit yang
mereka tanggung sendiri.
Kedua, aku simpati pada hidup
yang mereka jalani. Aku tidak tahu apa yang mereka rasakan sampai mereka
memilih hidup seperi itu. Mungkin mereka dikhianati, mungkin mereka dilukai,
dibuang, dilupakan, dimanfaatkan, dibohongi dan banyak hal yang pastinya,
menyakitkan. Atau mungkin juga, tidak menyakitkan, sebagian dari mereka lahir
dari keluarga normal dan mapan, tapi, pasti ada rasa kesepian. Sayangnya, hidup
jalanan menawarkan solidaritas dan kekeluargaan yang hangat. Solidaritas yang
tidak kita berikan, kehangatan yang tidak kita tularkan. Sayangnya, kasih sayang yang kita elu-elukan itu tersekat tembok perumahan. Kita terlalu sibuk mengurusi hidup
masing-masing. Orang kota sih, aih!
Maka, daripada memandang mereka
sebelah mata, mari kita doakan mereka. Kalau kita tidak mampu memperbaiki
mereka atau tidak mampu membantu mereka, atau bahkan kita tidak mau tahu,
rasanya tidak adil kalau kita menjustifikasi mereka begitu saja.
Kita tidak tahu siapa yang lebih
baik diantara kita dan mereka. Boleh jadi kita merasa lebih bersih, lebih
sholeh, lebih alim, lebih pintar, lebih bijak, dan lebih lebih lebih... tapi, benarkah kita yang lebih? Bagaimana
kalau ternyata, jiwa mereka lebih hanif dan bersih? Setidak-tidaknya, mereka
jujur pada diri mereka sendiri.
Tidak seperti kita yang sibuk
berpura-pura dalam banyak hal.
Jadi, habis mereka ngamen dikasi
uang jangan? Terserah, itu pilihan.
Tapi mari, kita lihat mereka
sebagai manusia juga.
Purwakarta, 25 November 2016
Cuaca: AC bis yang menyejukkan
Dari pikiran yang sibuk
Nida.
Komentar
Posting Komentar