Galau dan Degradasi IQ

Halo dunia~
Saya mau cerita...

Sekitar satu  tahun yang lalu, atau lebih ya, saya juga lupa, saya pernah tes psikologi lengkap seharian penuh. Ceritanya saya jadi bahan tes anak pascasarjana fakultas psikologi Unpad. Ketika itu saya sedang pusing binti mabok sama sebuah entitas bernama skripsi.

Sebagai mahasiswa akhir yang sering kelaparan, mendapat tawaran makan gratis mulai dari pagi sampai makan malam tentu menggiurkan. Saya pun pasrah mengikuti serangkaian tes demi nafsu makan yang terpuaskan, hehe...

Tapi, emang dasar saya yang ga kepo, bahkan sama diri sendiri, saya pun menolak ketika ditawarkan untuk melihat hasilnya. Saat saya ditraktir makan malam setelah selesai tes, yah, namanya juga ngobrol, akhirnya saya tau juga sedikit tentang hasil tes saya karena memang dikasih tau sama tetehnya, padahal ga nanya.

Intinya, terkuak lah kalau saya memiliki IQ yang tidak sama dengan orang-orang. Saya pikir saat itu wajar karena tiap hari saya mikir gara gara skripsi, jadi wajar kalau jadi pinteran dikit, kan mikir terus. Hehehe

Kemudian waktu berjalan, terkadang meninggalkan, terkadang berjalan bersamaan. Tiba-tiba, di suatu hari dengan sengaja, datanglah seorang lelaki yang ngaret sampai tiga jam.

Saat itu saya berpikir, kok aku mau maunya nungguin, kayaknya IQ berkurang nih. .

Singkat cerita, sejak kedatangan pemuda itu, saya mulai paham apa yang disebut dengan galau, galau dalam artian mikirin lawan jenis ya.

Sebelumnya, pemahaman saya tentang suka-sukaan, cinta-cintaan, hanya datang dari hasil observasi dan wawancara mendalam (dengerin curhatan). Saya ga tau, apakah saya yang ga peka sama diri sendiri, atau memang sebelumnya saya belum pernah merasakan galau. Ga tau. Yang jelas, saya ga terlalu peduli sama yang begituan. Suka ya udah, ga suka, yaudah juga. 

Nah, sejak saya mulai mengenal wujud perasaan bernama galau, saya akui, saya jadi kurang produktif, meskipun skripsi tetap selesai sesuai jadwal, tapi naskah tulisan saya selesai belakangan.

Suatu ketika, saya dapet teori so tau- dari seseorang yang memang menurut saya, rada so-so an cukup dewasa sedikit belagu.
Teorinya berkata, bahwa jika orang di atas usia 22 ke atas merasa galau, bakal berpengaruh besar pada keseharian mereka. Usia saya waktu itu masih 21, dan saya ga terlalu percaya sama teori itu. Masa si? Kata hati saya, waktu itu.

Tapi, setelah setahun berlalu dan ternyata, perasaan galau itu tidak menghilang secepaat sendal jepit di mushola. Ia cukup awet seperi jerawat batu di dahi atau dagu, dan saya, jadi teringat teori teman saya yang so tau itu, bener juga ya ternyata.

Alhamdulillah-nya, aktifitas sehari-hari membuat saya cukup berhasil kabur dari perasaan galau. Kalau sedang dalam aktifitas bengong, di jalan, kamar mandi, jogging, atau apapun yang membuat kita hanya bisa diam dan tidak ngobrol. Pikiran yang terlintas paling dzikir sedikit, hasil memperhatikan sekitar, memori kehidupan, metode belajar, organisasi, amanah, cara dapet uang, project naskah berikutnya, dan lain-lain yang sifatnya duniawi. Tapi kadang juga menahan sabar karena kemacetan dan terik matahari, hehehe.

Tapi, kalau tiba-tiba kesambet setan galau, tetap saja, jadi galau.

Akhirnya, kalau saya kalkulasi waktu yang saya punya, Sepertinya waktu galau itu bisa menyita hampir 15-20 % waktu saya, angka yang cukup mengganggu dan bikin saya kesel, aslinya.

Kemudian saya berhipotesis, ih meni ga jelas gini, jangan jangan jadi bodo lagi gara gara galau 

Maka, atas nama iseng dan kabur dari pe er yang harus dikerjakan, hipotesis pun ditindaklanjuti. Saya mengikuti sebuah tes IQ online, soalnya gratisan (hehe), untuk nge-cek apakah hipotesis saya benar atau tidak.

Ceritanya saya memang, dan lagi kepo, apakah si 20 % galau ini berpengaruh pada kemampuan intelegensia seseorang atau tidak. Khususnya saya yah, kalau orang lain si ga tau.

Dan ternyata hasilnya adalah..
Iya, berpengaruh.

Serem ga si..

Memang angkanya tidak jauh berbeda dari IQ sebelumnya, dan tes online belum tentu akurat, tapi tetap saja, berkurang sekitar 3-5 poin.

Kebayang, kalau saya terus terusan galau, bisa bisa IQ saya menurun secara gradual. Aduh...

Jadi, melalui metode introspeksi dan eksperimen terhadap diri sendiri, yang kemudian diturunkan menjadi logika berpikir silogisme:

Premis 1 : Saya (A) kenal persaan galau (B) : (A -> B)
Premis 2 : Sejak saya kenal galau (B), IQ saya berkurang (C) : (B -> C)
Kesimpulan : Sejak saya kenal galau, IQ saya berkurang. (A -> C)


Saya membuat kesimpulan tidak ilmiah, bahwa galau bisa menyebabkan kebodohan.

Memang, tidak ada kepastian bahwa turunnya angka 3-5 poin itu karena galau atau bukan. Bisa jadi karena kondisi saya kurang fit, tekanan, hidup, makan ciki dan mie, atau yah banyak faktor lainnya lah. Tapi.... akui saja, saat kita galau, kita tak berpikir secara rasional. Kita sibuk menebak-nebak, mengait-ngaitkan hal yang tidak ada hubungannya, khawatir tak berdasar. Iya kan?
Nah, ketidak-rasional-an itu, kalau jadi kebiasaan, akan berakibat pada kebodohan.

Baiklah, sejak kesimpulan dhoif itu telah keluar, saya punya solusi untuk diri saya sendiri, atau, kalau kalian mau ikut menjalankan juga silahkan. Tidak ada paksaan saat membaca blog orang.

Pokoknya, kalau setan galau merasuk, saya punya tiga opsi, jikir, baca, atau langsung tidur saat itu juga. Titik. 
 
Terserah, mau galau di angkot, di bis, di jalan, di kasur, di kamar mandi, bodo amat.

Akan lebih seru kalau kesimpulan saya ini didukunng sama penelitian dan data sungguhan, hehe, apakah benar, bahwa galau mengenai lawan jenis, mengakibatkan kebodohan?

Atas nama iseng
Nida.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuhentikan Hujan

Hati yang Hampa

Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai