Cahaya, Mau Kemana?

 Halo dunia yang semakin melenakan  

Berbagai purnama aku lewatkan, berbagai fajar tak kupedulikan, seperti hal nya blog ini.

Aku mau sedikit berbagi cerita, eh, bukannya isi blog ini cerita semua? sedikit? halah, hehehe

Cahaya, Mau Kemana?

Sudah berbulan-bulan aku mendekam dalam kefuturan, sungguh menyedihkan. Aku terjebak dalam perasaan menyedihkan dengan takdir yang seharusnya kusyukuri tapi malah kukutuki. Aku sedih, marah, tak berdaya, dan semua ditahan begitu saja. Tapi, tak ada bendungan emosi yang tak keluar, pada akhirnya emosi yang dibendung akan keluar apapun wujudnya. Kalau aku? Ya, semua emosi itu keluar dalam wujud rasa MALAS melakukan apapun. 

Sepertinya aku depresi.

Tapi, hei, apakah orang depresi menjadi tak profesional dan menyedihkan dalam hidup sehari-harinya? Oh,, tidak semudah itu ferguso. Aku tetap menjalankan segenap  tugas dan kewajibanku, aku bersosialisasi dengan baik, aku bahkan menyelesaikan S2 dan memberikan kontribusi yang baik dalam pekerjaanku. 

Aku Baik, begitu pikirku...

Tapi, tahukah kamu wahai dunia yang penuh konspirasi dan keindahan? Aku begitu rapuh saat itu. Aku lemah. Aku payah. Aku gelisah dan gelisah. 

Dalam bagusnya kata-kataku, dalam indahnya materi yang kusampaikan pada kajian dan seminar, aku begitu mudah tersinggung. Aku begitu mudah marah, aku gelisah pada hal hal yang sangat sederhana.

Dari hari hari ke hari, hatiku terasa sakit, sakit,  sakit, dan terus begitu.

Dan betapa baiknya Allah, Ia kirimkan untukku pasangan yang begitu sabar dan menyayangiku. Entah berapa juta syukur yang harus kuucap untuk hal ini.

Pada akhirnya, pada malam-malam tanpa handphone (serius, tanpa handphone is much better for our soul), aku berpikir, aku yang S2 psikologi ini, apakah aku depresi?

Kemana cahayaku yang dulu? kemana ketenanganku yang dulu? kemana Allahku?

Air mataku mengalir melalui ujung mata dan berlabuh di bantal motif pink dan putihku.  Apa yang terjadi padaku? Cahaya, kau mau  kemana? aku seakan semakin terpuruk dalam kegelapan.

Hari hari berlalu, apakah aku berubah? belum. Aku tertatih tatih dalam perubahan. Aku berjuang untuk kembali pada cahaya. hanya istigfar yang bisa kulantunkan lagi dan lagi. Sungguh, cahaya, begitu jauhkah aku padamu?

Wahai Tuhanku, Yang begitu Mengasihiku, Yang begitu Menyayangiku, Tuhaku yang tak pernah meniggalkanku, betapa zalim aku pada diriku sendiri dan betapa sulit untukku menundukkan diri yang angkuh ini. 

Betapa aku membenci diriku sendiri. Betapa ingin aku kabur dari semua ini, tak lagi mengisi kajian, tak lagi mengurusi anak-anak murid, betapa aku ingin pergi hidup sendiri, entah kenapa, bersosialisasi menjadi sesuatu yang begitu melelahkan bagi jiwa ini.

Tapi, lagi-lagi, Engkau telah berikan aku suami yang begitu penyayang, 

Jadi, 

Cahaya, kau mau kemana?


Malam

di Purwakarta yang penuh sukacita

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuhentikan Hujan

Hati yang Hampa

Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai