Postingan

Misteri.

Terkait kisah retaknya persahabatan kami, memang sahabat bukan sembarang sahabat si itu. Di hari air mata mengalir, disitu aku tak tau harus berdoa apa selepas sholat, kerjaku hanya menangis saja, dengan mukena dan sajadah yang terhampar. Singkat cerita, berlalu lah sebulan kemudian. Saat hati telah mantap, yasudah, mungkin memang ada yang harus pergi, ada yang tinggal di hati. Aku sudah tidak naif lagi. Juga, terasa olehku, Allah hibur aku dengan datangnya yang lain, yang klik, saling menolong, dan yah, semacam pengganti mungkin (?) Hatiku telah belajar. bahwa bertepuk sebelah tangan itu, seharusnya dilepaskan. Lalu ia datang kembali, bercerita bahwa setelah kejadian itu, aku hadir di mimpinya 2 Minggu berturut turut tanpa jeda, membuatnya merasa bersalah tak karuan, hingga ketika hari dimana aku tak lagi muncul di mimpinya, ia sedikit merasa lega. Maka terujarlah maaf, dan sebuah genggaman tangan yang erat. Kami kembali bercerita, bersenda gurau seperti biasa... Tapi, aku kosong. Tak...

Waktu

 Aku mencoba, menghapus mereka yang tak perlu, dari hatiku. Sebagaimana mereka, menganggapku sekedarnya. Aku mengakui bahwa sedih ini, adalah kebodohanku sendiri, dan hari hari terjalani, dengan kondisi hati yang berbeda dari sebelumnya. Tapi, kupikir itu mudah. Nyatanya nyes nyes selalu ada. Setiap ku ingat, bahwa aku hanya sekedarnya, masih nyes rasanya. Padahal waktu bersama kita itu panjang dan lama. Siapa sangka, kita menjadi asing dengan mudahnya. "kalau memang ga cocok, semesta akan memisahkan kamu dari siapapun itu, akan selalu ada jalan, untuk memiisahkan" Mungkin ini maksudnya. Padahal aku sudah berusaha, bertanya, ada apa dengan kita. Tapi semakin sakit, saat melihat respon dinginnya. Barulah ku sadar, hangatnya, hanyalah sifat belaka. Ternyata, aku ke ge-eran begitu lama. Ngenes. Sahabat bertepuk sebelah tangan. Sad girl~ dan, butuh waktu, sampai kapan ya... agar nyes nyes ini hilang. Memang aku introvert, kaya ga butuh teman, tapi ternyata, sakit juga. Tapi yasud...

Posisi

Setiap kita, punya tempat dan posisi di hati orang lain. Kita saling menempatkan satu sama lain, dan aku, baru sadar sekarang. Benar kata dosenku dulu, aku naif, naif mampus. Sekilas aku mendengar kalimat iri dr sahabatku, sekilas aku mendengar kalimat merendahkan dari sekitarku, sekilas, aku sedih sedetik, kemudian ku abaikan.  Sahabat tetap sahabat, terdekat tetap terdekat. Nah, disitulah bodohnya. Baru sekarang aku menangis kan, rasain, ya itu karena aku memendam kebodohan begitu panjang. Padahal sudah diingatkan, jangan naif. Maksudnya, jangan polos, jangan bodoh, jangan mengabaikan detail penting di sekitarmu. Kalimat sekilas sekilas itu, terungkap sudah, bahwa ternyata memang, tempat dan posisimu di hati mereka, tak lebih dr sekedar tontonan belaka. Minta pendapat dan bercerita padaku, tak selalu ada artinya. Sekali kau berantakan, langsung disebutkan. Sekali kau membuat kesalahan, langsung diperhatikan. Aih... Lama aku tak menangis setulus ini. Patah rasanya, menyadari bahwa...

Takut

Memang manusia punya pikiran yang liar. Sulit dikendalikan, menyasar segala arah sana sini. Tetiba takut. Segala pikiran buruk hingga yang terburuk muncul apa adanya. Soal anak, tak bisa diganggu gugat. Muaraku, bagian dari diriku. Takut, hal buruk terjadi, dan aku, entah bagaimana, mungkin kehilangan cara menjalani hidup ini. Semoga, semua pikiran buruk ini hilang dengan kenyataan yang membahagiakan. Sehat, sehat, sehat. Ya Allah, kabulkan doa seorang ibu yang mencintai Engkau dan anugerah yamg Engkau berikan ini. Larut dan gelisah.

Sulit

adalah mengakui bahwa cacat diri itu ada. Pengakuan dewasa, yang mau belajar, mau menerima, mau memaafkan, dan melihat itu sebagai hal biasa. Adaptif, adalah ciri mental sehat dan kuat. Ia tidak rigid, ia fleksibel, ia lentur, ia bertumbuh. Dan aku, ingin seperti itu. Ternyata sulit keluar dr diri yang perfeksionis ini. Aku tak suka perfeksionis diriku. Banyak hal aku tak suka dari diriku. Mungkin, aku harus mencari pertolongan. Haruskah?  Ternyata. Sulit.

Terapi

 Wow. Aku membaca sebuah buku, judulnya: the book you wish your parent had read. Iya, judulnya sepanjang itu, dan isinya juga bikin kepikiran panjang banget. Katanya, reaksimu ke anak kamu, sebenarnya bukan gara gara anak kamu yang salah, tapi emosi itu adalah emosi kamu waktu kecil yang kamu pendam begitu dalam dan kamu lemparkan ke anak kamu saat kalian berada di situasi yang kurang lebih sama. Yah sederhananya, aku marah karena anak ga nurut, anak kecil ya, masih 4 tahun, sebenernya marahku itu bukan ke anak ku, tp itu marahku waktu kecil yg ga bisa dikeluarin karena aku terpaksa harus nurut. Semakin aku baca, semakin aku sadar, sepertinya aku adalah anak kecil yang tumbuh dengan dipenuhi rasa takut  Memang pengasuhan jaman dulu kan dipenuhi ancaman ya  Setiap orang pasti punya inner child issues nya masing masing yah. okeh, okeh, okeh! Aku berubah. Buku itu bilang, kalau kamu merasa mau meledak ke anak kamu, atau kamu mau berbuat sesuatu negatif ke anak kamu, cb kamu ...

Ternyata

Ternyata, aku sayang banget sama anakku  Aku kaget, ko ada ya perasaan sebesar ini. Tadi pagi aku mengajar, dua anakku masuk kelas, yang besar aku suruh keluar, dia tanya sederhana, kenapa harus keluar? matanya berbinar  Hatiku patah, kenapa aku harus mengusirnya, betapa teganya aku Sedetik kemudian, ku dudukkan ia di kursi guru, biarlah, aku sayang anakku, tak tega aku membuatnya merasa tersingkir meski sedikit. Di waktu lain, anakku sakit, berkali kali sakit. Tak apa, aku tahu akan sembuh, sampai suatu ketika, jalan raya kecil ini terasa begitu panjang. Aku menangis juga. Terbayang sakit yang ia rasakan, lagi lagi, patah hatiku. Di waktu lain, anakku mengeluh pelan tentang hatinya yang patah, terdiam aku dibuatnya, sedetik kemudian, jadilah aku badut, atm, dan motor yang membawanya kemana ia mau, lagi, di dalam sini patah hatiku. Di waktu lain, anakku menyentuh benda panas, aku berteriak, memeluk dan memegang erat tangannya yang panas, berharap panasnya, pindah kepadaku, dan...