Bahagia

Akhir pekan ini saya harus presentasi tentang positive psychology. pernah dengar kan?
Dua pekan terakhir di kelas filsafat saya membahas sejarah dan makna kebahagiaan.
Udahnya paper positive psychology lumayan tebal dan mebahas kebahagiaan, kelas filsafat berturut turut juga membahas kebahagiaan, kenyang dede bang.

Menarik.
Rupanya manusia dari zaman ke zaman mencari arti kebahagiaan. Sibuk merumus rumus kalimat untuk mencari definisi yang tepat. Bertanya, berpikir, bertanya lagi, berpikir lagi, melihat, memperhatikan, merumus, mendiskusikan, bertanya, berpikir lagi, begitu seterusnya.

Kemudian muncul teori teori tentang kebahagiaan. Lihat betapa definisi bahagia berubah rubah sesuai dengan kondisi dan kemampuan berpikir manusia kala itu.

Seseorang bernama epicurus, atas hasil pemikiran yang panjang panjang, akhirnya ia merumuskan bahwa bahagia adalah terbebas dari rasa sakit, apapun itu. Kemudian sebgian orang setuju, dia punya pengikut, pengikutnya berusaha mencari bahagia dengan membebaskan diri dari rasa sakit. Hadirlah aliran bernama Epicureanisme.  

Duh, kalau saya gabung sama jamaah Epicurean, saya bisa ga bahagia terus, standar bahagianya berat, kata hati saya.  

Kemudian pencarian kebahagiaan pun saya lanjutkan, oh iya, sebelum Epicurean, ada aliran yang namanya Hedonisme. Kalau aliran ini saya ga perlu mikir untuk mutusin ga mau gabung, standarnya bahagian lebih tinggi dari pada Epicurean, bayangin, masa katanya bahagia itu memiliki semua kenikmatan yang dapat orang peroleh? ei, dikira ini di surga? 

Aduh, mau bahagia aja ribet. 

Kemudian ada lagi seseorang  bernama Zeno dan Epictetus, jelas bukan orang indonesia lah ya, saya berharap bisa nemu jamaah bahagia yang namanya dadang atau sutomo gitu, biar gampang diinget, hhe. 

Nah, si keren Zeno dan Epictetus ini bilang kalau bahagia itu mengendalikan hasrat, beuh, beraat beraaat, dan menahan rasa sakit yang tak bisa dihindari. aiiihh, tabah lah ya tabah. Nah makanya, muncul-lah kaum Stoic, ituloh yang disejarah isinya orang orang berotot gede dan semakin mampu menahan siksa tubuh jadi semakin prestise.

"Mengendalikan hasrat dan menahan rasa sakit" heum, sebentar, saya mikir dulu, kayanya si saya mampu ikut jamaah bahagia yang ini, tapi, mampu si mampu, tapi kapan saya merasa bahagianya? Kerjaannya mengendalikan dan menahan, itu mah pekerjaan yang tidak menyenangkan ya, duh, sebagai anak abad 21, mampu si, tapi ko rasanya sedih ya...

Oke, jamaah Stoicisme, lewat. KIta liat lagi jamaah bahagia lain, siapa tau ada yang sreg dan bisa memberi solusi hidup lah, hehe.

Ini nih, tokoh pilsup terkenal, Sokrates dan Plato, masa pilsup ga punya depinisi bahagia, gak mungkin lah ya... Oia, inget ya, semua jamaah bahagia ini muncul sebelum kehadiran nabi Muhammad, karena mereka ada pada jaman Sebelum Masehi, bahkan sejak masa nabi Isa belum lahir pun, manusia sudah sibuk merumus rumus bahagia, keren ya manusia.

Sokrates sama Plato bilang kalau bahagia itu adalah kesesuaian antara jiwa dan realita. Aih, bang, ini dede ga bisa bang, betapa banyak realita yang tidak sesuai dengan keinginan kita, iya kan? Kita dibuat frustrasi dengan realita yang tak berbanding lurus dengan usaha. dah dah, hayati jangan sedih.

Om, dede pulang aja lah, ternyata jamaah bahagia sejak jaman sebelum masehi pun standarnya sangat tinggi, saya sebagai anak zaman teknologi dan kemajuan sepertinya terlalu lemah dan tak bisa mengejar ketertinggalan.

Akhirnya, pada pagi yang cerah berhadapan dengan hamparan rumput dan angin lembut yang meniupkan ujung kerudung saya, di bawah bentangan langit yang lapang dan awan dengan bentuk bentuk yang lucu, aku telah memutuskan. Aku punya definisi bahagiaku sendiri. 

Aku ingin sebuah definisi yang standarnya rendah dan bisa kucapai kapan saja, karena bahagia adalah kebutuhan jiwa, bahagia harus selalu terasa agar hidup menuju surga dapat dilalui dengan tabahnya, iya kan?

Bahagia itu, tidak berbuat dosa. Eh, engga engga, tiap hari aku ngerjain dosa, sekalipun itu cuma cibiran hati, itu juga dosa. Kalau definisinya begini, aku bisa ga bahagia setiap hari.

Bahagia itu, mendapat ridho Allah. Tapi, gimana caranya kita tahu kita dapet ridho-nya Allah? Bahkan untuk menilai kita ikhlas atau engga pun gak mudah yah.

Bahagia itu membahagiakan orang lain. Ha? saya juga dulu mikir bahagia itu kaya gitu, saya bekerja keras untuk membuat orang yang saya sayang bahagia dan bangga dengan kehadiran saya, akhirnya apa, saya kecewa. Saya tidak akan pernah mampu membahagiakan orang lain, pikir saya. Kenapa? Karena bahagia itu dari dalam dirinya, bukan saya. Saya hanya bisa berbuat baik, apakah ditafsirkan saya membahagiakan atau tidak, membanggakan atau malah jadi beban, itu terserah dia. Jadi kalau bahagia itu membahagiakan orang lain, tapi orang itu ga juga bahagia meski kita telah bekerja, kita juga ga bahagia dong? sedih amat.

Bahagia itu, melakukan apa yang bermakna, dan memaknai apa yang dilakukan. fix. 
Memberi makna kan cuma butuh mikir. Yang penting saya bisa memberi makna dan melakukan apa yang bermakna menurut saya.  syaratnya cuma mikir, kalo gini, saya bisa bahagia. hehe, receh? biarin.
Kan ada banyak hadits dan ayatnya, betapa manusia harus berpikir.

Robbana taqobbal minna... aamiin
 

Buat saya, bahagia adalah soal makna. 
Buatmu, apa?  

Nida.
Hati seadanya, sederhana.
Cuaca cerah mempesona

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuhentikan Hujan

Hati yang Hampa

Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai