Laporan cuaca

Jadi gini ya gaes.
Beberapa bertanya, mengapa saya selalu melaporkan keadaan cuaca diujung tulisan.
Alay? hha, biarlah orang berkata apa.

Sejujurnya, kebiasaan menuliskan keadaan cuaca merupakan kebiasaan seorang antropolog.
Saat ia menulis laporan etnografi setiap hari, setelah selesai observasi, ia harus menuliskan cuaca yang ada hari itu. Maka sejak saya menulis laporan etnografi untuk pertama kali saat pertama kuliah lapangan di Karawang, saya suka melampirkan keadaan cuaca di sekitar saya.

Kenapa dalam antropologi laporan cuaca menjadi penting? Karena boleh jadi terdapat hubungan antara cuaca dan fenomena budaya yang ditemukan. Bukankah banyak budaya yang merupakan hasil pemaknaan mereka terhadap cuaca? Misal budaya pemujaan dewi Sri, dan dewa dewi alam lainnya adalah hasil dari pemaknaan masyarakat terhadap alam sekitarnya.

Saya cukup kagum dengan masyarakat itu. Bukan, bukan mengagumi tuhannya, tapi kemampuan mereka untuk menghargai alam dan berterima kasih atasnya. Adakalanya, mereka lebih tahu bagaimana harus menghormati alam dari pada orang lain. Sayangnya, penghormatan itu menjadi semakin tidak logis sehingga munculah penyembahan dan berbagai ritual lainnya.

Nah, balik lagi ke pembahasan. Meskipun sekarang saya kuliah psikologi, bukan lagi antropologi, tapi saya tetap menyukai antropologi.

Maka, meski saya seakan berpaling dari antropologi dan tekun berkutat dengan psikologi, tapi sebagian hati saya masih tertinggal disana. Saya suka etnografi dan penelitian kualitatif. Ilmu antropologi memberi saya sudut pandang baru tentang masyarakat. Jika sebelumnya saya sangat justified dengan orang yang berbeda, antropologi memaksa saya untuk menghargai mereka. Kenapa, karena mereka begitu juga ada alasannya, bahkan, budaya tertentu, mengajarkan saya makna baru.

Memang, dari segi moral dan agama, ada budaya-budaya yang harus dipertahankan, adapula budaya yang harus dihapuskan. Tapi, bagaimana mau merapihkan budaya kalau kita tidak memahaminya?
Nah, dari cara berpikir seperti itulah saya masih menyukai antropologi dan menolak move on darinya. Akhirnya saya berakhir dengan mempertahankan secuil metode etnografi pada setiap tulisan bebas yang saya miliki.

Jadi, menulis cuaca itu bukan alay semata, atau sok sok puitis. Meskipun memang, saya tidak menggunakan kaidah laporan cuaca baku metode etnografi. Yaa, laporan cuaca seenak jidad saya aja, hhe

Nida,
Masih Pagi,
cerah-tanpa awan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuhentikan Hujan

Hati yang Hampa

Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai