Menolak Lupa

Saya tinggal bersama orangtua selama kurang lebih 17 tahun, sekarang sudah hampir 7 tahun saya menghabiskan waktu hidup sendiri. Ngekos, asrama, pesantren, pernah saya jalani. Mulai dari 4.5 tahun kuliah S1 dan sekarang sedang menjalani kuliah S2, ditambah, masa depan saya juga berada di kota yang jauh dari orangtua.

Pernah ada yang berkata, seringkali anak anak lupa, ketika sibuk tumbuh, orangtuanya juga tumbuh dan menua.

Adalah pepatah yang tak suka saya ingat. Saat kuliah S1, saya sibuk organisasi dan waktu libur pun tersisa sedikit untuk diluangkan dengan keluarga. Selepas S1, saya pulang dan kemudian diterima S2. Saya pergi lagi, meninggalkan rumah yang selalu disana tak pernah kemana mana.

Umi, tsaura berangkat dulu ya. Ibuku hanya mendoakan. Menaruh  harapan.

Sekarang, saat libur S2, aku mengajukan lamaran untuk magang dan bekerja, di sebuah lembaga penelitian tentang topik yang saya suka. Walhasil, liburan ini aku tak pulang ke rumah dan bertemu dengan orang tua.

Saya telah izin saat mengajukan lamaran, orangtua mendukung, tapi di satu sisi, saya dan mereka sama sama harus menanggung rindu yang telah lama menggenang.

Aih, saya hanya beroda dan berharap tidak menjadi anak durhaka.

Terlebih ketika nanti saya menikah, saya akan mendedikasikan diri pada sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan orang tua saya. Saya melepas mereka, mereka pun ikhlas melepaskan harap dan segala yang mereka inginkan dari saya. Yah, mungkin begitulah nasib perempuan. Sehebat apapun mereka, ketika telah berhadapan dengan syariat, maka ia menjadi milik suaminya. Seorang lelaki yang tiba tiba datang, dan membawa pergi bunga yang telah dirawat mati matian.

Memang, seolah lelaki terlihat seperti telah melakukan kejahatan.
Makanya, kalian, laki laki, perlakukanlah istri dengan baik, karena kalian telah merenggut mereka dari orsng yang sangat mencintai mereka.
Kalian bayangin aja, kalau punya adik perempuan, kalian ingin suaminya bersikap seperti apa pada adik kalian, maka itulah yang harus dilakukan pada istri kalian.

Kembali ke pembicaraan, tak jarang saya berlinang jika mengingat masa depan. Saya tak lagi bisa melihat adik saya tumbuh, bercengkrama dengan orang tua, karena ada kewajiban membangun rumah tangga yang lebih utama.

Iya, pada akhirnya, atas nama melangkah ke depan kita harus terus berjalan dan mengorbankan hal hal yang kita inginkan. Kalau saya keukeuh dengan ingin waktu bersama keluarga, bisa saja, tapi saya tak bisa ada di tempat saya berdiri hari ini. Kalau ada yang keukeuh ingin dekat dengan keluarga, ya bisa saja, tapi mungkin tak banyak peluang yang bisa ia dapatkan. Selalu ada harga yang harus di bayar untuk sebuah pencapaian/

Saya pun begini karena selalu ingat bahwa ibu saya bercita cita agar anaknya memberi manfaat seluas luasnya, maka, adakalanya saya berpikir, pergi jauh, disana dan disini, adalah bagian dari ikhtiar saya untuk mewujudkan cita citanya

Saya sibuk tumbuh dan berkembang, namun saya menolak lupa, bahwa orang tua saya juga menua. Maka, apa bisa saya lakukan, ya saya lakukan, lelah rasanya meratapi apa yang tidak bisa dilakukan.

Memang selalu ada yang dikorbankan untuk sebuah pencapaian. Salah satunya adalah waktu bersama keluarga.

Saya menolak lupa
Sangat menolak lupa

Kepada ayah dan ibuku, adik dan kakaku, disini aku pun teriris iris rindu yang kejam dan tak kenal kasih sayang

Sejauh apapun jarak, semoga hati kita selalu dekat.

Nida
Pagi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuhentikan Hujan

Hati yang Hampa

Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai