Subhanallahi wabihamdih

Pagi ini, karena Allah, saya menonton sebuah video ceramah dari ustad Nouman, seorang ustad kelahiran Afganistan yang lama menetap di Amerika dan telah menjadi penduduk Amerika. Ustad favorit saya.

Ust nouman membahas tentang kalimat subhanallahi wabihamdih.
Menurut hadits, adalah kalimat yang paling disukai Allah dan paling berat timbangannya.
Tapi, punya konsekuensi psikologis yang sangat sangat tidak mudah, setidaknya, bagi saya.

Jadi, pertama, arti dr kalimat subhanallah, bukan hanya Allah Maha Suci, tapi juga berarti bahwa Allah suci dr semuaaaaa hal yang tidak baik.  Termasuk pertanyaan kenap hrs say yg diuji ya Allah? Kenapa hrs saya yg ditimpa hal ini ya Allah? Kenapa?  Nah, kalo kita masih berpikir Allah tidak adil, atau masih tidak menerima ketentuan yg terjadi dalam hidup kita, apakah itu warna kulit yang kita ga suka, bentuk wajah yg ga mirip artis korea, atau tinggi badan yang jauh lebih rendah dari pohon kersen di pekarangan rumah, nah berati kita belum menerima Allah sbg Maha Suci.

Karena, konsekuensi dr Subhanallah itu kita yakiiiiin bahwa semua yang Allah tentukan itu sempurna. Ga ada keraguan. Semua sdh dengan pertimbangan yang tepat dan akurat.  Kenapa saya terlahir begini, rezeki, jodoh, semua, suka atau tidak, adalah tidak lepas dr bentuk Maha Sempurna nya Allah.

Nah, psikologis manusia, kita semua jg tau, kita hobi membandingkan diri dengan yg lain, ketagihan mengingat hal hal sedih, dan suka ga sadar kalau ga pernah merasa puas. Akhirnya apa, subhanallah kita menjadi kosong ga ada artinya.

Kita pikir kita berdzikir, tapi hati, masih merasa mulia dan berhak mendapat perlakuan yang sesuai dengan keinginan kita. Kita tidak menerima kesulitan yang kita hadapi.

Saya, saat nonton ceramah itu, rasanya, ada yang menusuk disini. Betapa boleh jadi, selama ini terdapat kekosongan dalam dzikir yang saya ucapkan.

Memang, belajar menjadi hamba, sama dengan belajar untuk menyerah.
Menyerah bahwa Allah lah yang lebih tau dan merencanakan segalanya. Disisi lain, kita dituntut untuk kerja keras sampai ubun ubun dan berdoa dengan yakin.

Bukankah itu dua hal yg bertentangan? Kalau orang udh usaha, udh jelas hatinya penuh dengan harapan, apalagi kalo ditambah dengan doa. Tapi, Allah minta kita untuk tidak berharap sama sekali dan rela dengan apapun hasilnya, sesuai harapan atau tidak.

Emang gampang apa, ga berharap apa apa tapi disuruh ikhtiar maksimal?
Meni tega nya..

Tapi, disitulah letaknya iman, disitulah semurni murni penghambaan.
Ketika kita, hanya fokus pada usaha, dan tak berharap imbalan yang sama.

Itu baru subhanallah, wabihamdih nya gimana?

Aih, kata wabuhamdih itu juga berarti kita harus bersyuuukuuuuur seburuk apapuun keadaannya. Harus punya keyakinan bahwa hal buruk yang kita alami, itu adalah hasil dr cara Allah menyelamatkan kita dari hal hal yang jauuuh lbh buruk lagi.
Terserah, mau dikhianati ke,  pengangguran dlm waktu lama ke, masalah orang tua, ga dapet2 jodoh,  bnyk hutang,  dimusuhi orang, pokonya kita tetap hrs bersyukur.

Secara psikologis, aiih, disaat saat terendah begitu, manusia akan mulai merasa tidak berharga, ga percaya diri, rendah diri, dan segalaaa prasangka buruk lainnya, mau ke diri sendiri atau ke orang lain.

Tapi apa?  Lagi lagi Allah minta yang sebaliknya.

Aiiihhh, wahai Allahku, betapa Engkau Maha Tahu gejala psikologis manusia, maka Kau turunkan segala tuntunan yang membuat kita tidak terjerembab pada kewajaran yang berbahaya.

Bukankah tidak mudah, melawan arus psikis kita sebagai manusia, dan berusaha menjadi hamba?
Duuuh, susah bangeet.
Kalo kalian lagi di kondisi baik baik aja si mungkin akan menyangkal apa yang saya katakan, tapi kalo nanti ada kejadian, saya cuma bakal bilang.

Selamat menikmati hidangan.

Ma syaa Allah  ma syaa Allah
Menjadi hamba, adalah peer yang tiada habisnya.
Lihat, bahkan semua nabi juga melantunkan doa untuk ditetapkan dalam keimanan kan?
Artinya, para nabi itu juga terus berjuang dengn dirinya sendiri, untuk menjadi hamba, untuk mencintai Allah apa adanya, dan ada apanya.

Jadi hamba aja butuh perjuangan, apalagi hrs mengemban tugas kenabian?

Ya Allah, pasti para nabi memiliki beban psikologis yang jauuuuh lebih berat.
Cuma, karena kecintaan yang mendalam pada iman, maka, ada yang sejuk di matanya.
Meski air mata mengalir, meski harus terus menerus menahan dan mengontrol diri
Mereka, para nabi, dan orang2 yang mencintai keimanan, punya pesona dan wibawa yang berbeda.

Semoga, kita, dan anak anak kita, diberi kemampuan dan kekuatan, untuk tetap berada dalam keimanan dan menyelesaikan tugasnya sebagai hamba, sebaik baik hamba.

Aamiin

Malam cerah, gerah~
Nida. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuhentikan Hujan

Hati yang Hampa

Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai