Korban
Berikut adalah cerpen yang tidak jadi saya publish di buku, tapi, saya akan meaburnya disini, cukup panjang, semoga tidak melelahkan, selamat menikmati aksara :)
Korban
Alkisah dua orang anak
muda yang menjadi tokoh utama dalam sebuah permainan. Ini permainan yang sangat
jarang dilakukan. Kepala dusun telah bulat, pada upacara tahun ini permainan
ini harus diselenggarakan. Siti dan Ujang dipilih, mereka bergidik, antara
ngeri dan geli.
Siti dan Ujang
sebenarnya belum cukup siap untuk melakukan permainan ini. Tapi diantara sekian
remaja lainnya, Siti dan Ujang adalah dua yang tiada duanya. Ilmu yang mereka
punya, telah jauh melampui batas usianya. Soal umur dan kesiapan, kepala dusun
tidak memperhatikannya.
Permainan dilakukan
tengah malam. Jika mereka berhasil, nama mereka harum ke seluruh penjuru, tapi
jika mereka gagal, secara pribadi kepala dusun akan mencoret nama keduanya dan
mereka tidak akan memiliki akses kemana-mana. Kepala dusun telah bersiap,
aturan permainan telah dibacakan, Siti dan Ujang sama-sama menarik napas
panjang.
Malam itu
bintang-bintang bersinar dan purnama putih bulat menenangkan. Gemerisik rumput
dan pohon bergesekan karena angin yang seolah-olah, menyoraki permainan ini.
Suasana sepi membuat detak jantung terdengar lebih keras. Kepala dusun memasang
mata, Siti dan Ujang mengambil posisi masing-masing. Mata mereka bersitatap,
bersiap, tanpa kata, tanpa tawa, hanya segenap keberanian yang mereka punya.
Peraturannya jelas,
mereka harus menari dengan gerakan masing-masing dan berbeda satu sama lain
dengan memegang sebuah tongkat ukir. Entah bagaimana caranya, mereka harus
bersinggungan hingga akhirnya membentuk sebuah aksara di atas tanah. Sebelumnya
Siti dan Ujang telah saling menyiapkan rencana. Gerakan demi gerakan telah
mereka sepakati. Malam ini, adalah tempat mereka saling mengaktualisasikan
diri.
Ini permainan langka
yang sakral, jika mereka berhasil, status sosial mereka meningkat, kepala dusun
bahagia luar biasa, dan desa mereka akan semakin cepat berkembang. Sebuah
persembahan agar mendapat pengakuan dunia luar, setidaknya, bukti bahwa dusun
mereka juga bisa membuat karya.
Semua dusun tahu
permainan ini tapi tak ada yang berani memainkannya. Ini permainan yang sulit.
Tarian yang dilakukan harus dipenuhi dengan arti dan aksara yang dihasilkan
haruslah terukir tebal di atas bumi. Bagaimana bisa kita menari sambil mengukir
bumi? Terlebih, siapa mampu mengukir indah jika hanya diterangi cahaya bulan?
Jika permainan ini
gagal dilakukan, bekas ukiran yang gagal akan dapat dilihat semua orang. Sebuah
luka di lantai desa. Tapi jika permainan ini berhasil, aksara yang terukir akan
terukir selamanya. Sebuah kebanggaan luar biasa. Permainan ini harus dimainkan
dengan diam-diam, tak boleh ada mata yang melihat atau telinga yang mendengar,
sampai tiba-tiba, sebuah ukiran besar terukir di lantai desa mereka.
Permainan ini tidak
bisa dicurangi karena harus selesai malam ini. Jika tidak, berita kegagalan
akan menyebar. Hanya ada dua pilihan untuk kepala dusun, menang dengan
kebanggan atau nama desa yang tercoreng. Untungnya, jika gagal, nama Siti dan
Ujang tetap aman karena jika gagal, nama pemain harus dirahasiakan. Begitu
peraturan yang sudah diketahui semua orang.
Dipinggir lapangan,
kepala dusun sibuk menulis ini dan itu. Kertas di tangan kanannya sudah lusuh
akibat dibawanya kemana-mana. Ia menaruh harapan yang besar pada permainan ini.
Ia tahu harusnya permainan ini sepi dan rahasia. Tapi harapan besar itu terlalu
besar hingga ia harus meminta bantuan beberapa orang. Kegagalan adalah sesuatu
yang sangat tidak ia inginkan.
Beberapa rumah masih
menyala di malam yang larut ini. Kunang-kunang bertanya-tanya mengapa ada
cahaya yang lebih terang dari buntut mereka. Beberapa pria keluar dan saling
mengetuk pintu satu sama lain. Bersiap menuju lapangan, segenap peralatan telah
disediakan agar permainan ini sukses dan lancar.
Angin yang berhembus di
lapangan semakin kencang. Gaun Siti berhembus kesana-kemari tapi ia tetap
berusaha fokus pada gerakan yang harus dilakukannya. Topi caping Ujang tak
tahan berdiam di tempatnya, untung saja tali pengikat sudah dipasang kuat-kuat
dan Ujang tetap fokus pada tarian yang telah mereka sepakati.
Meski sebelumnya kepala
dusun telah mengecek berkali-kali tanah yang mereka gunakan. Berbagai jenis
serbuk bunga dan pupuk telah diendapkan jauh di bawah sana agar ukiran mudah
menancap dengan dalamnya. Tapi tetap saja, Kepala desa cemas hingga Ia
mengundang beberapa orang yang diundangnya untuk menyiapkan segala keperluan di
luar permainan, tentu tanpa sepengetahuan Siti dan Ujang.
Angin masih saja
bersorak sorai. Malam semakin gelap dan waktu yang tersisa tidak banyak. Tarian
Ujang semakin cepat, ia gesit menari-nari dengan tongkat pengukirnya. Jauh di
seberang lapangan, Siti bersiap sesuai kesepakatan. Ia juga mulai menari dengan
cepat menyesuaikan tarian Ujang. Tapi
malam terlalu gelap, Siti tak bisa melihat dengan jelas tarian Ujang.
Mereka telah sampai di
lapangan. Kunang-kunang juga ikut berkerumun penasaran melihat apa yang
terjadi. Di pinggir lapangan, kepala dusun sibuk berunding. Aliran listrik
telah siap, tongkat ukir yang lebih tajam juga telah diselundupkan. Biarkan
Ujang dan Siti memainkannya secara natural, sementara sekelompok orang tua ini
akan diam-diam membantu mereka, begitu rencana kepala dusun.
Ujang lincah dengan
gerakannya, begitu pun dengan Siti. Hanya kegelapan yang menyelimuti mereka
sementara tongkat ukir terus bergerus dengan halusnya. Mereka harus terus
melakukan gerakan yang sama agar tongkat itu menggerus semakin dalam tepat di
garis halus yang sebelumnya. Artinya, tidak boleh ada kesalahan dalam gerakan
mereka karena mereka harus mengulang garis halus yang sama berkali-kali. Aih, permainan yang ribet sekali.
Tengah malam mulai
merangkak cepat. Memasuki dini hari adalah waktu-waktu tergelap karena cahaya
bulan perlahan menjadi tidak terlalu terang. Saat ini, tentu saat yang sulit
untuk Ujang dan Siti melihat garis halus yang sebelumnya. Tapi mereka bedua
sama kuatnya, kuncinya adalah saling percaya dan konsisten dengan kesepakatan.
Namun, saat Ujang dan
Siti sedang sibuk mengumpulkan kekuatan untuk saling percaya, perlahan beberapa
orangtua memasang beberapa peralatan di lapangan. Siti dan Ujang menyadari
kehadiran mereka. Mereka kaget tapi tetap berusaha meneruskan permainan.
Bagaimanapun ukiran di lantai bumi harus selesai sebelum fajar tiba.
Tim yang disiapkan
kepala dusun terus memasang perlatan ini dan itu, mereka memang tidak mengganggu
tarian Siti dan Ujang, tapi mereka membuat Siti dan Ujang kebingungan.
Tiba-tiba lampu sorot dinyalakan dan lapangan menjadi begitu terang.
Siti dan Ujang jadi
silau kepayahan, kunang-kunang kabur menjauhi pinggir lapangan, sinar itu
terlalu terang dan menyakiti buntut mereka yang bersinar. Kini semua tampak
sangat jelas. Ukiran mereka belum terukir dalam dan Ujang, rupa-rupanya telah
mengganti tongkatnya dengan tongkat ukir yang lebih tajam hingga ukiran hasil
tarian Ujang tentu lebih dalam dari hasil tarian Siti.
Siti kaget bukan
kepalang, ini diluar kesepakatan dan kondisi di sekitar betul-betul di luar
aturan main yang dijelaskan. Siti terus menari tapi pikirannya kesana-kemari.
Ia mulai tidak fokus dengan apa yang terjadi. Bukankan seharusnya permainan ini permainan yang sakral? Bukankah
seharusnya tidak ada lampu yang terang benderang? Bukankah seharusnya tak ada
mata yang melihat dan telinga yang mendengar? Dimana kepala dusun? Hati
siti berkecamuk. Ia tidak terima, ini
curang namanya, bisik hatinya.
Malam berlalu dengan
cepat dan bulan nampak menurun menandakan matahari tak lama lagi akan naik.
Detik berlalu dan pagi semakin dekat. Ujang terus menari dengan tongkat barunya
sementara ukiran hasil buatan Siti tidak setebal Ujang. Ia kelabakan sampai
salah seorang orangtua menawarkan tongkat ukir seperti yang digenggam Ujang.
Siti bingung, sambil
terus memperhatikan tawaran tongkat yang diberikan. Ia terus menari
kesana-kemari sampai saat ia harus melintas di depan orangtua yang menwarkan
tongkat itu, Siti segera mengambilnya dengan gesit karena waktunya tak banyak.
Ukiran ini harus selesai sebelum fajar.
Saat tongkat diambil,
Siti lupa bahwa saat itu tariannya harus bersinggungan dengan Ujang. Ujang
terkena ujung tongkatnya. Perutnya terdorong kuat sampai Ujang terjatuh di atas
ukiran yang hampir sempurna. Kepalanya membentur sebuah batu. Siti berbalik
kaget dan menghentikan tariannya. Detik seolah beku, semua yang ada dilapangan
membeku.
Fajar datang. Para
petani, ibu-ibu, dan anak-anak mulai menyeruak di jalan-jalan. Lampu sorot yang
masih menyala membuat lapangan menjadi sangat menarik perhatian. Ukiran di
lantai desa hampir sempurna tapi masih kurang tebal untuk disebut selesai.
Ujang terkulai di tanah dengan darah di kepala. Kejadian ini, bahkan dapat
dilihat dengan mata telanjang dari ujung lapangan.
Ibu Ujang baru saja
membuka pagar, terbelalak matanya melihat anaknya terkulai dan berdarah-darah.
Belum sempat Siti berkata-kata, ibunya menangis histeris memeluk anaknya.
Kepala dusun dan tim sibuk membereskan lapangan sementara kerumunan orang mulai
berdatangan.
Ukiran yang belum
selesai dan pakaian yang dikenakan Siti dan Ujang jelas menunjukkan kalau
permainan sakral tengah dimainkan. Hanya dengan sekali melihat, seluruh orang
dusun akan segara sadar, bahwa mereka telah gagal. Belum sempat Siti
menjelaskan dan menolong Ujang, umpatan kasar mulai terdengar.
Siti terdiam di
tempatnya. Ia dikelilingi orang-orang dan ditanyai dengan kasarnya. Siti
disudutkan. Matanya melihat kanan kiri kebingungan sampai ia menginjak gaunnya
sendiri dan terjatuh ke tanah. Siti tak kuat, ia menangis dan segera berlari
pulang ke rumahnya. Permainan ini, upacara, dan semua rencana yang disiapkan,
entah bagaimana, gagal berantakan.
Siti malu dan
disalahkan. Seharausnya nama pemain dirahasiakan tapi pagi itu, tongkat ada di
tangan Siti, ukiran belum selesai, Ujang jatuh dengan kepala berdarah,
sementara kepala dusun dan timnya sibuk mengemasi barang. Hanya Siti yang jadi
sorotan sementara ia bingung dengan apa yang terjadi. Ia pikir ia telah
melakukan semuanya sesuai aturan yang dijelaskan tapi mengapa hanya namanya
yang menyeruak ke seisi desa.
Kenapa
Siti mendorong Ujang? Kenapa ia berbuat curang? Kasian Ujang kepayahan.
Dari awal prosedur permainan ini telah
salah. Mereka tidak mengikuti aturan main yang seharusnya. Bagaimana Siti
melakukan hal itu padahal da pintar dan dewasa? Tega sekali Siti mendorong
Ujang. Begitu seterusnya, kalimat-kalimat itu melintas-lintas diantara
percakapan warga hingga hati Siti panas dibuatnya.
Siti mengurung diri di
kamar. Ia menangis kencang sementara ia tidak tahu apa yang salah dari
perbuatannya. Ia memang tidak sengaja melukai Ujang, tapi apakah itu
kesalahannya? Ujang juga telah diam-diam mengganti tongkatnya, Siti hanya ingin
melakukan hal yang sama agar permainan selesai. Lagipula tawaran tongkat baru
itu tidak ia minta, tapi disediakan oleh Kepala Dusun dan timnya. Siti hanya
mengikuti alur yang ada dihadapannya, tapi hanya namanya yang keluar dari lidah
warga.
Beberapa waktu berlalu,
Siti kembali beraktiitas seperti biasa meski ia harus menanggung murka sosial
yang menimpanya. Siti tidak terima, tapi ia juga tidak tahu harus bagaimana.
Kepala dusun, yang mengundang dan mengadakan semuanya, pergi begitu saja.
Ujang terluka kepalanya
sementara Siti terluka hatinya. Dusun menanggung malu karena ukiran yang gagal. Siti dan Ujang sama sama menanggung malu atas tidak terselsaikannya amanah besar
dan Siti, adalah nama teratas yang dianggap harus bertanggung jawab. Orangtua
Siti juga ikut menyalahkan, di rumah Siti mendapat ceramah panjang yang
terdengar menyakitkan. Siti berakhir menangis sendirian.
Pada malam yang
panjang, pada siapa Siti harus bicara? Pada siapa ia harus menjelaskan
semuanya? Siti, hanyalah remaja muda seperti remaja lainnya. Ia tidak tahu apa
yang terjadi, tapi Siti merasa ada seuatu yang sakit disini. Aku hanya korban, kamu harus sabar Siti,
sebentar lagi juga orang-orang lupa, waktu adalah pembunuh terbaik yang pernah
ada, ia menarik napas panjang sementara hatinya sibuk menguatkan.
Namun, meski Siti dan Ujang berusaha
menerima semua konsekuensi sosial yang seharusnya tidak menimpa,
bagaimanapun Siti sadar, Ujang juga terluka apalagi ibunya, ia merasa tetap
telah melukai Ujang, sengaja atau tidak sengaja. Ujang juga tak lebih dari sekedar korban, begitu Siti menganalisa.
Diam-diam saat malam,
meski Sii tidak tahu dimana salahnya, ia injak harga dirinya, ia tahan luapan
emosinya. Siti mengendap dan memasukkan surat ke dalam pintu rumah Ujang, dalam
suratnya, Siti menuliskan sebuah syair untuk Ujang dan Ibunya yang kemarin
menangis kepayahan.
Berlutut
di lantai bumi
Bersedih
menyepi
Menoreh
kisah, senandung kasih
Maafkan
tuan, aku berjanji
...
Tak
mau menuai murka
Untukmu
oh kawan
Berbisik
di dalam hati
Kumohon
maafkan
...
Kan
ku membasuh
Keringat
murka
Gelombang
nestapa
Kuharap
sirna
-White
shoes and the couples company-
Cerita ini adalah analogi, analogi tentang kita, Kita yang terpaksa tak bersepakat dan menanggung luka, itulah mengapa tak ku terbitkan, mari kita simpan luka ini dalam dalam, cukuplah kita yang menikmati, tanpa hujat, tanpa murka pada sesiapa, dan sibuk melangkah ke depan
Komentar
Posting Komentar