Perempuan

aku menulis ini di atas kasur sebuah hotel di sebuah kota besar di Indonesia, Bandung. Atas nama acara kantor selama tiga hari di sebuah hotel, saya sebagai asisten peneliti harus berangkat lebih awal membantu admin menyiapkan acara. Sebenarnya ini bukan kali pertama saya mengurus masalah kantor atau jenjang karir lainnya, tapi, akhirnya pikiran ini memuncak juga,  saat saya menjadi seorang asisten peneliti dan memutuskan untuk menulis ini.

sepanjang perjalanan, selain mengingat  masa lalu dan masa depan, hhe, ini yang banyak tersirat di benakku
jadi gini rasanya jadi wanita karir.

Yah, memang, harus saya akui bahwa ada sepercik rasa bangga dan istimewa atas kesibukan mengoptimalkan potensi, tapi lagi-lagi kuingat tentang tugas hakiki seorang perempuan, adalah menjadi seorang istri, ibu, menantu, anak, bagian dari masyarakat, dan bagian dari pembela kebenaran. jadi banyak yaa perannya, hhe.

Saya terlahir dari rahim seorang perempuan yang mengorbankan dirinya untuk sebuah rumah tangga yang sakinah mawadah warrahmah. Ibuku melepas cita citanya untuk kuliah, melepas keinginannya untuk meniti karir, dan merelakan pesan ayahnya untuk menjadi seorang wanita yang maju versi abad 21.

Sekitar dua tahun yang lalu, pun aku berpikir idealis bahwa wanita yang ahli surga adalah wanita yang tinggal di rumah utuh, mengurus keluarga. Itulah cita-citaku, dan sampai hari ini, masih tertulis di dalam daftar cita-cita.

Tapi..

Nah loh, nyari alesan pembenaran nih kalau udah pakai tapi, hhe

Bagaimana dengan dokter kandungan dan bidan? Bukankah itu adalah profesi yang sebaiknya dihuni oleh perempuan, bagaimana dengan guru, suster, dan sederet posisi yang memang sebaiknya diisi dengan perempuan? Lalu, apakah Islam, sebegitunya membatasi potensi perempuan hingga mengganggap perempuan yang paling mulia adalah yang hanya mengurus rumah?

Begitukah Islam, atau Islam versi pemahaman kita?

Kurang lebih itulah yang terus saya pikirkan, sampai kemudian saya berjodoh dengan psikologi.

Ditemukan sebuah buku berjudul, The Working Mothers, tanpa membaca sinopsis, langsung diambil untuk kemudian saya pinjam dari buku perpustakaan. Saking napsu membaca, keesokan harinya buku itu berhasil saya tamatkan.

Adalah sebuah buku tentang berbagai hasil penelitian mengenai para ibu yang bekerja, dan hasilnya adalah, mereka cenderung tidak bermasalah dengan mendidik anak, toh mereka yang full time di rumah pun juga luga menunjukkan berbagai kecenderungan untuk bermasalah dalam mendidik anak. Kita lihat saja fakta lapangan, toh ada ibu yang meniti karir namun anaknya baik baik saja, artinya, secara garis besar tidak banyak menimbulkan masalah, tapi juga ada ibu yang tidak bekerja namun anaknya bermasalah. Nah, ini ada banyak faktor, kita tidak hanya bisa menyalahkan satu faktor: ibu bekerja atau tidak, terlalu banyak faktor untuk bisa disimpulkan sederhana.

Ibu yang tidak bekerja banyak mengalami faktor kebosanan, jenuh, sehingga tidak optimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya, namun ibu yang berkarir juga seringkali lupa tentang tugas utamanya sebagai seorang wanita karena energinya telah habis dimakan pekerjaannya.

Kan, ada banyak faktor kan, jadi sejak membaca buku itu, saya tidak  lagi berpikir bahwa ibu yang sempurna adalah mereka yang mengorbankan diri, well, bekerja atau tidak, itu pilihan, dan saya mengahargai setiap pilihan yang telah dipilih oleh perempuan lain, yang penting, jangan lalai aja dengan tugas dan tanggungjawab sesungguhnya.

Terus, yang menariknya, dari buku itu, diketahui hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja, memeiliki kecenderungan yang lebih besar untuk bertengkar dengan suaminya daripada bermasalah dalam mendidik anak, nah loh.

Jujur, ketika mengetahui fakta itu, saya hanya senyum. hehe

Saya tahu, kalian, para lelaki, adalah makhluk dengan ego yang sangat tinggi, memiliki pasangan yang juga mempunyai penghasilan mungkin akan membuat kehormatan kalian sebagai imam sedikit terancam. Makanya, sinetron jaman dulu, merhatiin ga, sangat sangat patriarki. Istri di rumah, suami kerja, kalau marah, main tangan, dan istri hanya menangis sambil menatap lantai, seolah, posisi ibu rumah tangga begitu lemah.

Pernah ga kalian liat sinetron yang istrinya kerja dan suaminya main kasar? jarang kan? Iya, karena ketika seorang perempuan punya prestasi, laki-laki tahu bahwa perempuan ini bukan perempuan lemah yang bisa diperlakukan seenaknya.

Buat kalian yang merasa menghormati perempuan dan tidak suka main tangan, ga perlu merasa tersinggung ya, ini kan gambaran umum laki-laki, kalau tidak merasa yasudah.

Tapi intinya, karir membuat perempuan memiliki posisi dan kekuatan, dan laki-laki, pada dasarnya adalah makhluk yang ingin dihormati. Maka, jika ada kekuatan lain selain dirinya, ia hawatir dirinya tidak  lagi dihormati,  maka jadilah pasangan suami istri bekerja sering mengalami pertengkaran.

Ya, itu tidak berlaku untuk semua pasangaan. Ada ko perempuan maju, yang justru karena kemajuan ilmunya, ia sangat menghormati suaminya sebesar apapun prestasinya. Suami tidak merasa ternacam, dan munculah rumah tangga harmonis yang saling mendukung cita cita masing masing dan cita cita bersama.

Ada juga perempuan yang full time di rumah tapi tidak mensyukuri pemberian suami dan malah jadi tidak menghormati dan menghargai suaminya, ada kan, atau banyak? hhe

Ada juga perempuan yang sengaja mengorbakan diri karena tahu jika ia berkarir akan sulit baginya untuk menghormati  suami, maka ia memilih memutus karir dan sepenuhnya mengurus rumah, ada kan?

Jadi, kita tidak bisa men-generalisasi semudah premis ibu bekerja tidak akan becus mengurus rumah tangga dan hanya ibu yang utuh mengurus rumah yang terkategori sholehah.

Jadi, kata kuncinya adalah menghormati dan menghargai.

Terus teh, gimana caranya nemuin istri yang bisa ngerti gini teh, yang mau menghormati dan menghargai suami? Lihat agamanya.

Tapi teh, itu ada istrinya fulan, istrinya jago ngaji tapi kasar sama suami. Nah, ini berati peer buat kita untuk memperluas pemahaman agama, Apakah agama hanya sebatas pada ritual harian?
Saya tidak akan mematok standar bagusnya agama seseorang, setiap kita, berhak punya standar masing-masing.

Tapi ada sebuah hadis, bahwa jika baik agamanya, maka baik juga akhlaknya.

Oleh karena itu, bagi saya,  agama yang baik adalah soal akhlak yang baik. Bagaimana ia menghormati orang lain, bagaimana ia memiliki pikiran dan wawasan yang terbuka, bagaimana ia mampu berpikir lebih dari satu sudut  pandang, bagaimana ia santun dan dapat menyesuaikan sikap dengan situasi dan kondisi.

Jadi, bagi saya, menjadi perempuan tidak sama dengan membatasi segala potensi dan kemampuan.
Saya mohon ampun atas keterbatasan pandangan selama ini
Tapi Islam sungguh tidak mengekang perempuan, hanya tekad dan kualitas diri yang perlu dtingkatkan
Karena mengejar cita-cita tanpa lalai terhadap tugas yang utama, membutuhkan tenaga ekstra.

Iya kan?

00.21 WIB
Hotel Orion
Bandung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuhentikan Hujan

Hati yang Hampa

Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai