Prasangka

Salah seorang peneliti utama di tempat saya magang menuturkan cerita, katanya, prasangka telah menjadi masalah sosial yang harus dilirik dan diselesaikan.

Saya mengangguk pelan sementara hati, mengagguk keras bak roker sedang bernyanyi di atas panggung, hha.

Tidak perlu lah saya bahas orang lain, saya sendiri pun, aih, prasangka ini benar benar menyita waktu dan energi.

Pada akhirnya, jika prasangka melanda, saya hanya bisa istigfar dan berdoa, berlindung dari segala kecemasan yang tak jelas darimana asalnya.

Tapi, saya tidak akan curhat disini, mari kita bahas darimana prasangka ini bermula.

sepanjang saya belajar soal emosi, jelas hasil penelitian dari buku Barret ey al (2016) menyatakan bahwa emosi, dapat membiaskan kognisi.

Tah, jadi, ketika kita sedang meraakan sebuah emosi, proses berpikir kita otomatis akan menjadi bias. Sekecil apapun emosinya, nah, disitulah prasangka mulai menetas dan membunyikan cicitnya. Kita tak lagi objektif dan tanpa sadar, berpikir sesuai dengan apa yang kita inginkan, berpikir pembenaran. Mendengar apa yang ingin di dengar, melihat apa yang ingin dilihat.

Jangankan orang awam, sekelas profesor juga kalau emosi sudah terlibat, tetap akan bias cara berpikirnya. Itulah mengapa, hadits bahwa jika ada masalah disimpan dulu tiga hari, baru boleh diceritakan adalah sangat tepat. BEtapa ajaran Islam menuntun kita untuk mengahadapi hal hal yang sifatnya manusiawi.

Artinya kan dalam tiga hari kita tidak cerita ke siapa siapa itu, menghindari kemungkinan kita akan melebih lebihkan cerita dan menebar bibit bibit kekesalan dan sakit hati yang kita punya kan.

Prasangka itu sesuatu yang sifatnya pasti terjadi. Hanya, kepada yang berilmu atau beriman, mesti menyadari bahwa mereka sedang berprasangka, minimal, sadar lah kalau sedang emosi.
Nah, kesadaran itu lah yang membuat kita, hampir fardhu ain untuk menahan diri, lebih tepatnya, me regulasi diri.

Terus, nih disini pentingnya, jangan pernah menyalahkan emosi yang kita rasakan, apakah itu sedih, marah, sakit hati, dan sebagainya. Emosi itu sudah ada bibitnya di otak kita, ada di bagian frontal cortex dan utamanya di amygdala, Jadi, emosi itu bukan bisikan setan, itu mah biologis. Dampak dari emosi, yang jadi melebih lebihkan dan interpretasi kejauhan itu yang bisikan setan.

Emosi itu perlu untuk kelangungan hidup kita. Ga salah ko kalau marah, yang salah adalah ketika marah itu disampaikan dengan cara yang tidak tepat. Ga salah ko jatuh cinta dan sedih, kecewa dan sebagainya, yang salah itu ketika sikap ga terkontrol, ga produktif, dan menginginkan pasangan yang persis sama dengan mantan. Tahu ga si, Allah tidak pernah menciptakan segala sesuatunya dua kali. Bahkan mereka yang kembar pun tidak sama persis, bagian tubuh kiri dan kanan juga berbeda, setiap jeruk memiliki bentuk bulat yang berbeda, senin hari ini dengan senin minggu lalu bukan senin yang sama.

Kalaupun Allah memberikan kesempatan lagi, bisa dipastikan unsur unsur dalam peluang itu akan tidak sama dengan peluang pertama. Sama kaya remedial soal ujian, bolehlah ujian lagi, sama kan, tetep ujian, tapi kan soalnya beda, atau, meskipun soalnya sama, penilaiannya yang beda. Hasil remedial kan dibagi dua sama ujian pertama, atau mungkin setinggi tingginya nilai remedial sama gurunya paling di kasih nilai mentok sama dengan KKM, atau, yah pokoknya ga bakal kesempatan ujian remedial bakal sama persis lah sama ujian pertama. Gitu juga sama hidup.

Makanya, baik baik lah sama diri sendiri, cermati diri, dan teruslah berjuang mengontrol diri. Setiap manusia itu berharga, sebesar apapun masalah, kita harus tetap menghargai diri sendiri. Kita boleh ditindas, tapi jangan sampai kita menindas diri dengan menganggap diri lemah, tidak pantas, dan sebagainya. Karena itu, juga namanya prasangka buruk terhadap diri sendiri. hhe

Ya, mungkin gitu aja sedikit pemaparan tentang prasangka, semoga bisa diterima ya.
Kesalahan adalah milik manusia, sementara kesempurnaan selalu mlik Allah semata

Malam,
25 derajat celcius
Nida.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuhentikan Hujan

Hati yang Hampa

Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai