Postingan

Amatir

Gambar
Matahari tengah berada di titik kulminasi. Seorang gadis sibuk mengetik dan menuliskan suasana hatinya Cucian belum kering juga Kamar tanpa jendela, kedap dari terik yang menggila Gadis itu menghapus kalimatnya Entah apa yang ada dipikirannya Ia hanya ingin menulis katanya Cucian masih belum kering juga Teringatlah pada masa depannya yang tak tahu dibawa kemana Gadis itu mengetik lagi susunan huruf baru Cucian masih belum kering juga Adzan dhuhur masih belum berkumandang Lagi-lagi ia menghapus kalimatnya Ditanya oleh jiwa Apa yang mau kamu bagi pada umat manusia? Dia hanya diam tak bicara Oh, rupanya dia hanya ingin menulis katanya Teringat pada pemuda usia dua puluh empat Ia melanjutkan kalimatnya Jari-jarinya lincah memilih kata Matanya cepat bergerak-gerak Tapi lagi-lagi ia terdiam Khawatir terbaca  Ia hapus tulisannya Cucian masih belum kering juga Teringat pada beban tak terselasaikan Kalimat sendu meluncur dari jarinya...

Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai

Gambar
Judul Buku : Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai Penulis: Emha Ainun Nadjib Tanggal terbit: Maret 2015 Penerbit: Bentang Tebal: 414 halaman Emha lagi-lagi menantang nalar kita dengan kalimat-kalimat filosofisnya. Kali ini penulis ingin meresensi salah satu buku dari penerbit favorit penulis, Bentang, karya Emha Einun Nadjib atau EAN. Dalam deretan kata sepanjangan 414 halaman ini, Emha menuangkan gagasannya dalam bentuk esai singkat. Inilah yang membuat pembaca dapat betah menggerak-gerakan retinanya pada setiap kata Emha karena ia tidak terlalu panjang 'bicara' pada setiap sub babnya seolah ia tahu bahwa kemampuan fokus pembacanya tidak akan bertahan lama.  Selayaknya budayawan juga sastrawan, gagasan Emha pada bukunya yang ini banyak membahas konsep Islam secara filosofis disandingkan dengan praktik yang ada di masyarakat. Puncaknya adalah pembahasan tentang seni dalam Islam, khususnya musik. Emha juga banyak membahas pesantren dan relevansinya dengan pendidikan...

Manusia?

Manusia datang dan pergi. Kepentingan membuat mereka asik sendiri. Dalam hiruk pikuk rutinitas yang jumud, kita telah lupa kemana perginya makna. Ritualisme kita tidak lagi bermakna, malah dianggap beban dari rantai aktifitas kita. Hubungan sesama mnusia hanya pada basa basi etika karena dibelakang, kita siap begosip ria. Terlebih materi dan prestise telah membuat kita lupa kalau kita hanya manusia. Merek, gadget, jabatan, pekerjaan, ukuran rumah, hanya status belaka. Tapi kenapa kita menjadikan mereka sebagai tolak ukur kemanusiaan? Apakah yg tidak punya tidak dianggap sebagai manusia? KIta saling bersaing memerkan siapa yang paling prestise diantara kita. Kita sibuk mencibir mereka yang tidak satu selera. Kita, telah tenggelam dalam hidup yang sementara.  Makhluk spesies manusia ini telah lama kehilangan kemanusiaannya. Kita teralienasi dari hakikat kita sendiri.  Masih pantaskah kita menyebut diri manusia? 

Kuhentikan Hujan

Gambar
Kuhentikan hujan Kini matahari Merindukanku Mengangkat kabut pagi Perlahan ... Ada yang berdenyut Dalam diriku Menembus tanah basah Dendam yang dihamilkan hujan Dan cahaya matahari ... Tak bisa kutolak Matahari memaksaku Menciptakan bunga-bunga Karya: Sapardi Djoko Damono Ini puisi favoritku. Ada makna tersendiri dalam puisi ini bagiku. Sebuah kedukaan yang diangkat oleh sesosok matahari, dan denga bantuan keberkahan hujan, duka pun melahirkan bunga-bunga, melupakan dendam yang dibiaskan hujan. Aih... Karenanya, kepada matahari... mari kita berlari, mengangkat duka. Mencari keberkahan hujan agar lahir bunga yang akan melukiskan sejarah. Histori harus menjadi milik kita, milik kita yang selalu mengingatkan untuk terus mengejar cintaNya. Histori harus menjadi milik kita, miliki kita yang megutamakan kepentingan masyarakat yang terpasung pembajakan kadaulatan. Karena itu matahari, bantu aku menghanyutkan dendam dalam berkah hujan agar terci...

Adakalanya Kita Malu

Masa lalu menunjukkan kualitas kita dahulu kala. Menulis adalah soal jam terbang. Menulis adalah soal gejolak jiwa. Menulis adalah soal isi kepala. Tulisan kita dulu dan sekarang, pasti berbeda. Pada segi diksi, metafora, sampai alur bicara. Mungkin dulu sederhana, mungkin dulu tak bernyawa, mungkin dulu buruk rupa. Tapi adalah semua itu jejak jejak kita. Para penulis yang berbahagia. Adakalanya kita malu lalu menghapus tulisan tulisan alay dulu. Adakalanya kita malu lalu membakar karya waktu kecil dulu. Adakalanya kita malu. Tapi adalah itu semua jejak jejak kita. Perubahan diksi menunjukkan perkembangan. Perubahan metafora menunjukkan geser kemampuan nalar. Perubahan, adalah sebuah panggung pertunjukkan. Atas drama persepsi, asumsi, hipotesa, dan sinestesia. Perubahan bergerak gerak berperan antagonis dan egosentris. Perubahan kaku menjadi cermin mata berkaca kaca. Perubahan tulisan, adalah sepatu kaca cinderella yang tertinggal. Adalah sebab musabab titik berdiri kita saat ini....

Definisi Cahaya

Bismillah. Cahaya, tidak akan saya kupas secara harfiah, karena bukan ahli bahasa. Cahaya ialah zat udara yang abstrak, sebagaimana asap. Cahaya sering ditemukan tidak hanya pada terbit, atau terbenamnya as-syams. Cahaya juga ditemukan pada banyak puisi, syair, prosa, bahkan yang sedang menyatakan cinta. Cahaya yang asbrak menjadi konkrit dalam konteksnya. ia hanya memancar tanpa bicara, dan seperti biasa, yang berisik ialah manusia. Sibuk menafsirnya dalam berbagai rupa. Pun dengan blog saya. Selamat Datang Cahaya! begitu saya menyambut pembaca, karena saya tidak melihat cahaya dalam puisi, tidak dalam terbit atau terbenam matahari. Saya melihat cahaya pada setiap pembaca. Setiap gerak retina pada kata-kata saya. Maka, Insomnialah Cahaya! Semoga, ada cahaya pada kata-kata saya yang bisa membuat pembaca Insomnia akan cahaya. Karena cahaya yang saya maksudkan akan selalu datang, pada peluh dan darah yang sedang berusaha. pada mereka yang tidak meminta-minta, pada mereka yan...

Selamat Malam Tuan

Tuan,  malam semakin larut, nyalakan pemanas karena malam ini sangat dingin, tapi tuan, siapakah lelaki tua yang ada di sudut sana? lihatlah tuan ia meringkuk khusyuk memeluk aspal dingin dan berselimut angin. Tuan, buang sajakah sisa makanan ini tuan? tapi anak kecil di sebrang jalan itu mengais ngais tempat sampah, lihatlah tuan, badannya hanyalah tulang berselimut kulit, ia seperti rangka berjalan Tuan, angka pada saldo keuangan tuan hari ini semakin bertambah, tapi, lihatlah tuan, rangka berjalan itu bahkan tak pernah menggenggam uang satu kepalan tangan Tuan, siapakah rangka berjalan itu tuan? tidakah mereka memiliki kehidupan? Oh rupanya kehidupan itu hanya milik orang - orang seperti tuan, kehidupan hanya milik sebagian orang, begitu kata tuan Oh maaf atas semua pertanyaan saya tuan, lampu kamar akan segera saya matikan, dan pennghangat ruangan akan segera bekerja, mimpilah yang indah tuan kapitalisme.