Postingan

Book Review: Chapter 1

Gambar
Chapter One Introduction to Psychology For the chapter one, Dr Aisha stated her purpose why she wrote this book. First, it is to describe some detail the Islamic Perpective on psychology, mental health and well-being.   Second, it is to present some of this contemporary scientific evidence. And last but not least, the third is to remind readers of the petential for self-transformation that Islam offers for each human baing.  In her explanation about her purpose, i noted one senteces that make me more motivated to study my master degree. Dr. Aisha stated that actually, Islam doesn’t need to be proved. But, in this day and age, when science has been given priority over relevation, it is important to demonstrate the reality of our own discoveries. Well, she is amazing.  In this first chapter, we can learn what is the differences between Islamic and secular perspective. The basic differences is coming from the object of study. Secular perpective just foc...

Book review: Psychology from Islamic Perspective

Gambar
This paper is abook review of Psycologhy From Islamic Perespective that was bought by my lovely father last year. He gave it to me because i took psycologhy for my master study. This book was published by International Islamic Publishing House and wrote by Ustadzah Aisha from Riyadh, Saudi Arabia, 2011. From the cover, we can see that its using hard cover and looked good and cool but also seems pretty weight to take out everywhere. But, when we study the insight, i think it’s pretty worth it. The paper that used was yellow coloured and has good quality. For a glance look, this book is really cool. The language that used is easy, the english is light and the explanation is easy to understood. Whoever read this book, even they not a scholars or some student collages, it still be easy for them to understand this book. The thickness of this book is volumed 351 pages. For some first pages, it contains table of content that have pretty long list and take 4 pages to write ...

Bertahan

Gambar
Pertama. Ada detik-detik dimana semua terasa begitu menghimpit. Ketika cita tak terkejar, rindu tak terbayar, kemauan tak terpenuhkan, kekecewaan terus berdatangan, dan keterbatasan telentang menunjukkan dirinya.  Ada. Kedua. Ada detik ketika kita bisa bahagia hanya dari hal sederhana. Berjalan tanpa rasa sakit, tertawa bersama anak-anak, tidur bersama orang lain yang menyayangi kita, olahraga menikmati pagi sendiri, tidak kelaparan dan masih bisa minum air bersih setiap hari. Ada Ketiga. Ada juga detik dimana syukur membuat jiwa semakin sakit. Senyum dan tawa mengiris hati, yaitu ketika kita berusaha tetap bertahan dengan syukur kita tapi keadaan belum juga berubah. Ketika kita bertahan dengan usaha yang maksimal tapi jalan belum juga terbuka. Ketika kita tahu lelah telah menyesaki jiwa, tapi keramahan belum juga terasa. Ada. Maka kalau detik ketiga telah datang pada kita, datang padaku, padamu yang sedang membaca, bertahanlah. Hanya itu saranku. Tetaplah begitu, tetapla...

Barisan Pemuda Al Kautsar (BADAR)

Ah, hari ini penulis baru saja menyadari sesuatu. Penulis berkumpul dengan segerombol sahabat yang begitu baik dan luar biasa. Kami tertawa, menertawakan, berbagi, dan saling menasehati. Senyum-senyum kalian menjadi mozaik bahagia yang terlintas-lintas di dalam benak penulis. Aih, betapa persahabatan adalah sesuatu yang berharga. Tapi... diantara senandung ukhuwah yang sedang penulis dengarkan, ada setitik kesedihan ketika membayangkan bahwa suatu saat, jika penulis berpindah domisili, penulis akan berpisah dengan kalian. .. Beginilah manusia. Kalau sudah merasakan nikmatnya, akan merasa memiliki dan sulit untuk melepaskan. Padahal kita tahu, di dunia ini tidak ada satu pun yang abadi dan tidak ada satu pun yang kita miliki. ... Biarlah. Biarlah masa depan akan mengejutkan gejolak jiwa kita. Tapi yang jelas, mari kita nikmati hari ini. Nikmati senyum kalian yang membuat penulis tersenyum-senyum bahagia. Nikamti tawa dan canda sederhana yang konyol apa adanya. Kita nikmati har...

Amatir

Gambar
Matahari tengah berada di titik kulminasi. Seorang gadis sibuk mengetik dan menuliskan suasana hatinya Cucian belum kering juga Kamar tanpa jendela, kedap dari terik yang menggila Gadis itu menghapus kalimatnya Entah apa yang ada dipikirannya Ia hanya ingin menulis katanya Cucian masih belum kering juga Teringatlah pada masa depannya yang tak tahu dibawa kemana Gadis itu mengetik lagi susunan huruf baru Cucian masih belum kering juga Adzan dhuhur masih belum berkumandang Lagi-lagi ia menghapus kalimatnya Ditanya oleh jiwa Apa yang mau kamu bagi pada umat manusia? Dia hanya diam tak bicara Oh, rupanya dia hanya ingin menulis katanya Teringat pada pemuda usia dua puluh empat Ia melanjutkan kalimatnya Jari-jarinya lincah memilih kata Matanya cepat bergerak-gerak Tapi lagi-lagi ia terdiam Khawatir terbaca  Ia hapus tulisannya Cucian masih belum kering juga Teringat pada beban tak terselasaikan Kalimat sendu meluncur dari jarinya...

Resensi Buku: Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai

Gambar
Judul Buku : Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai Penulis: Emha Ainun Nadjib Tanggal terbit: Maret 2015 Penerbit: Bentang Tebal: 414 halaman Emha lagi-lagi menantang nalar kita dengan kalimat-kalimat filosofisnya. Kali ini penulis ingin meresensi salah satu buku dari penerbit favorit penulis, Bentang, karya Emha Einun Nadjib atau EAN. Dalam deretan kata sepanjangan 414 halaman ini, Emha menuangkan gagasannya dalam bentuk esai singkat. Inilah yang membuat pembaca dapat betah menggerak-gerakan retinanya pada setiap kata Emha karena ia tidak terlalu panjang 'bicara' pada setiap sub babnya seolah ia tahu bahwa kemampuan fokus pembacanya tidak akan bertahan lama.  Selayaknya budayawan juga sastrawan, gagasan Emha pada bukunya yang ini banyak membahas konsep Islam secara filosofis disandingkan dengan praktik yang ada di masyarakat. Puncaknya adalah pembahasan tentang seni dalam Islam, khususnya musik. Emha juga banyak membahas pesantren dan relevansinya dengan pendidikan...

Manusia?

Manusia datang dan pergi. Kepentingan membuat mereka asik sendiri. Dalam hiruk pikuk rutinitas yang jumud, kita telah lupa kemana perginya makna. Ritualisme kita tidak lagi bermakna, malah dianggap beban dari rantai aktifitas kita. Hubungan sesama mnusia hanya pada basa basi etika karena dibelakang, kita siap begosip ria. Terlebih materi dan prestise telah membuat kita lupa kalau kita hanya manusia. Merek, gadget, jabatan, pekerjaan, ukuran rumah, hanya status belaka. Tapi kenapa kita menjadikan mereka sebagai tolak ukur kemanusiaan? Apakah yg tidak punya tidak dianggap sebagai manusia? KIta saling bersaing memerkan siapa yang paling prestise diantara kita. Kita sibuk mencibir mereka yang tidak satu selera. Kita, telah tenggelam dalam hidup yang sementara.  Makhluk spesies manusia ini telah lama kehilangan kemanusiaannya. Kita teralienasi dari hakikat kita sendiri.  Masih pantaskah kita menyebut diri manusia?